ANALISIS
ARTIKEL HUKUM BERDASARKAN PERSPEKTIF ALIRAN HUKUM
Kasus Corby
( Dalam perspektif Positivis )
A.
Artikel Kasus
Pemberian Grasi Corby
JAKARTA,
KOMPAS.com — Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan
grasi berupa pengurangan lima tahun hukuman penjara kepada terpidana kasus
narkotika, Schapelle Corby, disesalkan. Pasalnya, tidak jelas timbal balik apa
yang didapat Indonesia dari pemberian grasi itu.
Presiden sudah
menyetujui pemberian grasi untuk Corby. Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin
mengatakan, Pemerintah Indonesia berharap pemberian grasi ini memberikan pesan
kepada Pemerintah Australia agar melakukan hal serupa terhadap tahanan asal
Indonesia. "Khususnya anak di bawah umur yang cukup banyak berada di dalam
tahanan Australia Utara karena terlibat sebagai anak buah kapal dalam kasus trafficking.
Semoga ini mendapat perhatian dan dapat dilepaskan sehingga mereka bisa
bergabung dengan keluarganya," kata Amir.
Corby
diputuskan bersalah atas tuduhan kepemilikan 4,2 kg ganja dan divonis 20 tahun
oleh Pengadilan Negeri Denpasar pada 27 Mei 2005 silam.
keputusan
yang tertuang dalam Kepres 22/2012 itu dianggap membingungkan karena tidak
disertai kejelasan alasan dalam hubungan bilateral kedua negara yang bersifat
resiprokal atau timbal balik. Hal
itu dikatakan Wakil ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Nasir Djamil,
melalui pesan singkat, Rabu (23/5/2012).
Menurut
Nasir, “Harusnya didahului dengan ikatan perjanjian saling
menguntungkan atau untuk pertukaran kepentingan yang tepat antar kedua belah
pihak, sehingga tidak menunjukkan kebingungan maupun kelemahan RI terhadap
grasi tersebut,”
Dalam sebuah
Sidang Kabinet, Menkopolhukam Djoko Sujanto menyatakan bahwa Presiden SBY tidak
akan mengampuni para terpidana kasus terorisme, narkoba, dan korupsi, kecuali
atas pertimbangan kemanusiaan. Itupun akan diberikan kepada narapidana yang
berusia di atas 70 tahun Corby tertangkap basah di Bandara Ngurah Rai,
Bali pada 8 Oktober 2004 silam.
B. Analisa
Indonesia adalah negara yang
berdasarkan kepada hukum (rechtaat), hukum harus dijadikan ujung tombak
utama dalam menjalankan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sehingga tujuan
hakiki dari hukum bisa tercapai seperti keadilan, kepastian dan ketertiban.
Secara normatif hukum terkadang memuat cita-cita indah namun dalam
implentasinya hukum terkadang menyimpang dari cita-cita dan tujuan hakiki dari
hukum itu sendiri. Ketidaksinkronan antara hukum di dalam teori (law in a
book) dan hukum dilapangan (law in action) menjadi sebuah perdebatan
yang tidak kunjung hentinya. Terkadang untuk menegakkan sebuah keadilan menurut
hukum harus melalui proses-proses hukum yang tidak adil.
Pemikiran
mazhab positivisme hukum
Positivisme merupakan aliran pemikiran filsafat yang bekerja
berdasarkan empirisme. Aliran ini tumbuh subur pada abad 19 di Eropa. Garis
besar ajaran positivisme adalah :
(1) hanya ilmu yang bebas nilai dapat memberikan pengetahuan
yang sah;
(2) hanya fakta empiris yang dapat menjadi obyek ilmu;
(3) metode filsafat tidak berbeda dengan dengan metode ilmu;
(4) tugas filsafat adalah menemukan asas-asas umum yang
berlaku bagi semua ilmu dan menggunakan asas-asas tersebut sebagai pedoman bagi
perilaku manusia dan menjadi landasan bagi semua organisasi sosial;
(5) semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan pada
pengalaman (empiris-verifikatif);
(6) mengacu pada ilmu-ilmu alam, dan
(7) berupaya memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia
fenomena, baik dunia fisik maupun dunia manusia melalui aplikasi metode-metode
dan perluasan jangkauan hasil-hasil ilmu alam.
Positivisme menekankan setiap metodologi yang dipikirkan
untuk menemukan suatu kebenaran, hendaknya menjadikan realitas sebagai sesuatu
yang eksis dan objektif dan harus dilepaskan dari berbagai macam konsepsi
metafisis subjektif. Ketika pemikiran positivisme diterapkan ke dalam bidang
hukum, positivisme hukum melepaskan pemikiran hukum sebagaimana dianut oleh
para pemikir aliran hukum alam. Jadi setiap norma hukum haruslah eksis secara
objektif sebagai norma-norma yang positif. Hukum tidak dikonsepkan sebagai
asas-asas moral yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan sesuatu yang
telah dipositifkan sebagai undang-undang guna menjamin kepastian hukum.
Menurut Austin bahwa hukum merupakan perintah dari mereka
yang secara politik memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Artinya ada satu
pihak yang menghendaki supaya pihak lain melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu, kemudian pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan apabila
perintah tersebut tidak dijalankan. Suatu perintah merupakan pembebanan
kewajiban kepada pihak yang lain, dan akan mudah terlaksana apabila yang
memberi perintah adalah pihak yang memegang kedaulatan. Menurut Austin, setiap
sistem hukum mengandung 4 unsur, yaitu :
(a) perintah;
(b) sanksi;
(c) kewajiban; dan
(d) kedaulatan.
Seorang pengikut Positivisme, Hart
mengemukakan berbagai arti dari positivisme tersebut sebagai berikut:
1. Hukum adalah perintah
2.
Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis,
histories dan penilaian kritis.
3.
Keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah
ada lebih dahulu, tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan sosial,
kebijaksanaan dan moralitas.
4.
Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh
penalaran rasional, pembuktian atau pengujian
5.
Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan
dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan.
Aliran
Positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran
yang menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-undang menjadi
sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan. Hukum
Pidana di Indonesia masih menganut aliran Positivisme, hal ini secara
eksplisit tertuang didalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak dapat di pidana
seseorang sebelum ada undang-undang yang mengaturnya, ini disebut dengan azas
legalitas. Dari pernyataan diatas maka pada pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana menentukan bahwa, dapat dipidana atau tidaknya suatu
perbuatan tergantung pada undang-undang yang mengaturnya. Jadi perbuatan pidana
yang dapat dipertanggung jawabkan ialah yang tertuang didalam hukum positif,
selama perbuatan pidana tidak diatur didalam didalam hukum positif, maka
perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana dan tidak bisa diminta pertanggung
jawaban hukumnya menurut hukum pidana.
Kaitan
dengan kasus Corby :
Ketika
Schapelle Leigh Corby tertangkap tangan membawa ganja, Schapelle Leigh Corby
harus berurusan dengan hukum, karena perbuatan yang dilakukan Schapelle Leigh
Corby menurut hukum Pidana termasuk kepada perbuatan pidana yakni tindak pidana
narkotika. Menurut Aliran Positivisme bagaimana pun hukum harus
ditegakkan tanpa melihat baik atau buruknya serta adil atau tidak adilnya.
Hukum harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial, karena tujuan dari aliran ini
adalah kepastian hukum.
Menurut
paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif
sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan
kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini
hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak
tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami
positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian
mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normative harus
dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum[1].
Dalam
menjawab persoalan itu, sebagai negara yang menganut aliran positivisme, mau
tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah
yang disebut dengan tertib berpikir. Dengan kata lain, terlepas dari serba
keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara
memandang persoalannya harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar
filosofis lainnya.
Hans Kelsen dikenal sebagai pencetus “teori hukum murni” (the
Pure Theory of Law). Ia menganggap bahwa filosofi hukum yang ada pada waktu itu
telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas, dan telah mengalami
reduksi karena ilmu pengetahuan. Kelsen menemukan bahwa dua faktor ini telah
melemahkan hukum sehingga ia mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum
yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi terhadap hukum[2].
Penegakan hukum
Idealnya perkembangan
masyarakat harus diikuti oleh perkembangan hukum. Dari kasus Schapelle Leigh
Corby, penggunaan pranata hukum yang tidak sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan tidak mencerminan nilai-nilai keadilan ditengah masyarakat hanya
membawa ketidakadilan ditengah-tengah masyarakat. Ditambah lagi dengan aparat
penegak hukum yang masih berpola pikir konservatif dalam menegakkan hukum.
Hukum adalah hasil ciptaan masyarakat, tapi sekaligus ia juga menciptakan
masyarakat. Sehingga konsep dalam berhukum seyogyanya adalah sejalan dengan
perkembangan masyarakatnya[3].
Model penegkan hukum di Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh pemikiran positivisme-legisme. Menurut Kelsen bahwa norma hukum yang
sah menjadi “standar penilaian” bagi setiap perbuatan yang dilakukan oleh
setiap individu/kelompok dalam masyarakat. Standar penilaian dimaksud adalah
hubungan antara perbuatan manusia dengan norma hukum. Jadi norma hukum menjadi
ukuran untuk menghukum seseorang atau tidak, dan mengklaim seseorang bersalah
atau tidak harus diukur berdasarkan pasal dalam peraturan tertulis, tanpa
memperhatikan aspek moral dan keadilan.
Keadilan dalam penegakan
hukum
Penegakan aturan hukum melalui putusan pengadilan seringkali
dinilai tidak adil oleh masyarakat. Jadi tidak mengherankan jika terdapat
banyak putusan pengadilan mendapat reaksi dari individu atau kelompok
masyarakat. Pendek kata bahwa keadilan menurut hakim selalu tidak sama dengan
keadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Kelsen pada prinsipnya melepaskan
hukum dari keadilan karena ia mengangap bahwa keadilan adalah unsur yang
dipenuhi oleh subyektivitas individu atau kelompok. Sebagian kalangan
menganggap bahwa hal tersebut menjadi kekurangan pemikiran positivism-legisme
yang tidak menjadikan keadilan sebagai tujuan hukum.
Kaum positivisme mengartikan keadilan hukum sebagai
legalitas. Suatu perturan hukum dikatakan adil jika benar-benar diterapkan pada
semua kasus. Demikian sebaliknya, suatu peraturan hukum dianggap tidak adil
jika hanya diterapkan pada suatu kasus tertentu, dan tidak diterapkan pada
kasus lain yang sama. Substansi keadilan hukum dalam pandangan
positivism-legisme adalah penerapan hukum dengan tanpa memandang nilai dari
suatu aturan hukum (asas kepastian). Jadi hukum dan keadilan adalah dua sisi
mata uang. Kepastian hukum adalah adil, dan keadilan hukum berarti kepastian
hukum.
Doktrin positivism-legisme ini masih diterapkan dalam proses
penegakan hukum di Indonesia, terutama pada bidang pidana menyangkut penerapan
pasal dan “prosedur” dalam sistem pelaksanaan hukum. Oleh karena prinsip yang
mengacu pada aturan hukum tertulis sehingga banyak kasus dalam sengketa
lingkungan, para pelaku kejahatan selalu dinyatakan bebas dari tuntutan hukum
karena tidak memenuhi unsur-unsur dalam aturan hukum lingkungan. Wajar jika
dikatakan bahwa wajah penegakan hukum di Indonesia dinyatakan dengan ungkapan
“hukum hanya berlaku terhadap mereka yang lemah”. Kenyataan ini sangat
bertentangan dengan prinsip “setiap orang bersamaan kedudukannya di depan
hukum”. Pada dasarnya prinsip positivisme memiliki kelebihan
yaitu adanya kepastian hukum bahwa hukum itu harus ditegakan sekalipun langit
akan runtuh, namun ketika aturan hukum yang ada sangat bertentangan dengan
nilai keadilan yang dirasakan masyarakat, maka hukum tertulis menjadi sumber
konflik. Bukan berarti dengan serta merta harus dinyatakan bahwa pemikiran
aliran positivisme adalah kurang sesuai dengan kondisi. Penerapan pemikiran
positivisme-legisme dalam penegakan hukum di Indonesia nampaknya tidak memahami
“norma hukum” sebagaimana yang dimaksudkan oleh kaum pemikir aliran ini.
Kesimpulan
Hukum dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kasus Schapelle
Leigh Corby merupakan gambaran nyata bahwasanya dunia hukum di Indonesia masih
jauh dari nilai-nilai keadilan. Sebagian besar hukum yang berlaku di Indonesia
masih menganut aliran positivisme. Tujuan dari aliran ini ialah kepastian
hukum, hukum adalah yang terdapat didalam Undang-undang, sedangkan diluar itu
bukanlah hukum. Hukum harus ditegakkan tanpa melihat unsur-unsur sosiologis,
etis maupun politis. Sehingga seperti pada kasus pemberian Grasi Schapelle
Leigh Corby yang diisukan akan ditukar dengan terpidana warga negara indonesia
di Australia bukan merupakan sebuah alasan. Sedangkan di sisi lain, dengan
adanya kasus Schapelle Leigh Corby ini, hukum di Indonesia tidak lagi
menggambarkan nilai-nilai keadilan yang hidup ditengah-tengah masyarakat bahkan
menunjukkan bahwa unsur-unsur diluar
hukum seperti unsur politis masih berperan besar dalam proses penegakan hukum
pada kasus-kasus tertentu di indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
·
Hans
Kelsen, Toeri Hukum Murni, Nusamedia, Bandung, 2008
·
Muhammad
Sidiq, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya Paramita,
Jakarta, 2009
·
Sabian
Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009
·
Satjipto
Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika,
Jakarta, 1985
·
www.kompas.com
[1]
Muhammad Sidiq, Perkembangan
Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya Paramita, Jakarta, 2009, hlm 26.
[2]
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Nusamedia, Bandung, 2008, hlm 45.
[3]
Sabian Usman, Dasar-Dasar
Sosiologi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2009, hlm 65.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar