Minggu, 26 April 2015

Penggolongan ahli waris dan hal furudl


 


PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Pada zaman sekarang ini, pengetahuan masyarakat mengenai ilmu faroid (waris) sangatlah kurang termasuk di kalangan kaum intelektual mahasiswa. Termasuk mengenai penggolongan ahli waris dan bagian – bagiannya. Sehingga dalam pembagian warisan banyak yang tidak mengikuti aturan syari’at Islam yang telah ditentukan. Padahal masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam sehingga setiap muslim harus memahami al – faraidh, karena setiap orang pasti akan mengalami pembagian harta waris.  Dengan pembahasan ini, diharapkan dapat memberi pengetahuan bagaimana cara pembagian warisan yang benar menurut syari’at Islam. Sesuai sabda Rasulullah SAW, ”Sesungguhnya ilmu yang akan pertama dicabut Allah SWT dari muka bumi ini adalah ilmu faroid dan barangsiapa yang menguasai ilmu faroid, maka sungguh ia telah menguasai 1/2 ilmu yang ada di muka bumi ini. Dengan mengingat hal itu, kami akan sedikit membahas makalah tentang ”Penggolongan Ahli Waris dan Hal Furudl” sehingga harapan kami bermanfaat bagi pembaca dan agar pembaca khususnya mahasiswa dapat memahami dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari demi kepentingan pembelajaran maupun kepentingan umum dalam hal waris dan kewajiban sebagai setiap muslim.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut.
1.    Apa yang dimaksud dengan hal Furudl ?
2.    Bagaimana cara menentukan penggolongan ahli waris?











BAB II
PEMBAHASAN

A.   ASHABUL FURUDH
Ashabul Furudh (Zawil Furudh) adalah bagian-bagian yang telah ditentukan oleh syariat Islam (al-Qur’an dan Hadits) berkenaan dengan orang yang mendapatkan harta warisan. Dan kelompok ahli waris dzawil Furudh ini ada dua belas, yaitu empat laki – laki dan delapan perempuan sebagai berikut :
·         Laki – Laki :
- Ayah
- Kakek ( dari ayah )
- Saudara laki – laki seibu
- Suami

·         Perempuan :
- Istri
- Anak perempuan
- Saudara perempuan kandung
- Saudara perempuan sebapak
- Saudara perempuan seibu
- Cucu perempuan (dari anak laki-laki)
- Ibu
- Nenek
Selanjutnya akan diuraikan ahli waris dzawul furudh yang mendapat bagian 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6, yaitu :  
1. Seperdua (1/2)
Para ahli warisnya adalah 5 (lima) orang, yaitu:
  1. Anak Perempuan, apabila hanya seorang diri, jika si mati tidak meninggalkan anak laki-laki (QS, 4:11)
  2. Seorang cucu perempuan dari laki-laki, jika si mati tidak meninggalkan anak atau cucu laki-laki
  3. Seorang saudara perempuan sekandung apabila seorang diri
  4. Seorang saudara perempuan, jika hanya seorang diri
  5. Suami, jika tidak ada anak atau susu (QS, 4:12)
2. Seperempat (1/4)
Para ahli warisnya adalah 2 (dua) orang, yaitu:
  1. Suami, jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki (QS, 4:11)
  2. Istri seorang atau lebih, jika si mayit tidak meninggalkan anak atau cucu (QS, 4:12)
3. Seperdelapan (1/8)
Para ahli warisnya adalah 1 (satu) orang, yaitu:
1. Istri seorang atau lebih, apabila ada anak atau cucu (QS, 4:12
4. Sepertiga (1/3)
Para ahli warisnya adalah 2 (dua) orang, yaitu:
  1. Ibu, jika si mati tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki atau dua orang saudara (QS, 4:11)
  2. Dua orang atau lebih saudara seibu bagi si mati, baik laki-laki maupun perempuan (QS, 4:12)
5. Dua pertiga (2/3)
Para ahli warinya adalah 4 (empat) orang, yaitu:
1. Dua orang anak perempuan atau lebih, jika mereka tidak mempunyai saudara laki-laki (QS, 4:11)
2. Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika mereka tidak ada anak perempuan atau saudara laki-laki
3. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih, jika si mati tidak meninggalkan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki atau saudara laki-laki mereka (QS, 4:176)
4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, jika tidak ada yang tersebut nomor 1, 2 dan 3 atau saudara laki-laki mereka
6. Seperenam (1/6)
Para ahli warisnya adalah 7 (tujuh) orang, yaitu:
1. Ayah, jika si mati meninggalkan anak atau cucu (QS, 4:11)
2. Ibu, jika si mati meninggalkan anak, cucu laki-laki atau saudara laki-laki/perempuan lebih dari seorang
3. Kakek, jika si mati meninggalkan anak, cucu dan tidak meninggalkan Bapak.
4. Nenek, jika si mati tidak ada ibu
5. Cucu perempuan dari anak laki-laki jika bersama-sama seorang anak perempuan
6. Saudara perempuan seayah atau lebih bila ia bersama-sama saudara perempuan sekandung
7. Saudara seibu baik laki-laki/perempuan, jika si mati tidak meninggalkan anak, bapak atau datuk [1]
B. Penggolongan Ahli Waris

I.              Sistem Kewarisan Patrilineal
              Pewarisan Patrilineal (diikuti imam syafii) adalah memberikan penafsiran atau interpretasi kepada ayat-ayat al-qur’an yang dimungkinkan untuk ditafsirkan secara patrilineal.
Pokok-pokok pikiran:
a.  Selalu memberikan kedudukan yang lebih baik dalam perolehan harta peninggalan kepada pihak laki-laki.
b.  Urutan keutamaan berdasarkan usbah dan laki-laki ( usbah/ushbah adalah anggota keluarga yang mempunyai hubungan darah sesamanya berdasarkan hubungan garis keturunan laki-laki atau patrilineal )






Penggolongan Ahli Waris Sistem Kewarisan Patrilineal dibagi tiga golongan :
1.    Ahli Waris Dzul Faraid   
Melalui jalan Ashabul furudh, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tertentu, yaitu 2/3, 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, atau 1/8.
Para ahli fara’id membedakan ashchabul-furudh ke dalam dua macam yaitu ashchabul-furudh is-sababiyyah (golongan ahli waris sebagai akibat adanya ikatan perkawinan dengan si pewaris), yang termasuk dala golongan ini adalah janda (laki-laki atau perempuan). Dan ashchabul-furudh in-nasabiyyah (golongan ahli waris sebagai akibat adanya hubungan darah dengan si pewaris), yang termasuk dalam golongan ini adalah sebagai berikut.
·         Leluhur perempuan, yaitu ibu dan nenek.
·         Leluhur laki-laki, yaitu bapak dan kakek.
·         Keturunan perempuan, yaitu anak perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki.
·         Saudara seibu, yaitu saudara perempuan seibu dan saudara laki-laki seibu.
·         Saudara sekandung/sebapak, yaitu saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan sebapak.

2.    Ahli Waris Ashabah
Ashabah, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tidak tertentu, tetapi mendapatkan ushubah (sisa) dari ashabul-furudh atau mendapatkan semuanya jika tidak ada ashabul furudh.
Para ahli fara’id membedakan asabah ke dalam tiga macam yaitu, ashabah binnafsih, ashabah bil-ghair dan ashabah ma’al ghair.

2.1 Ashabah binnafsihi adalah ahli waris yang menjadi ashabah dengan sendirinya. Seluruh ahli waris laki-laki, yaitu ahli waris laki-laki yang nasabnya dengan mayit tidak diselingi dengan perempuan, adalah ashabah binnafsihi kecuali suami dan saudara laki-laki seibu. Ditambah dengan seorang ahli waris perempuan, yaitu perempuan yang memerdekakan. Jadi ahli waris yang termasuk ashabah binnafsihi, yaitu sebagai berikut.:
·         Leluhur laki-laki, yaitu bapak dan kakek.
·         Keturunan laki-laki, yaitu anak laki-laki dan cucu laki-laki.
·         Saudara sekandung/sebapak, yaitu saudara laki-laki sekandung/sebapak.
·         Perempuan yang memerdekakan budak

2.2 Ashabah bil-ghair adalah ahli waris yang menjadi ashabah dengan sebab ahli waris lain. Kerabat perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi ashabah dan untuk bersama-sama menerima ushubah, yaitu:
·         Anak perempuan yang mewaris bersama dengan anak laki-laki;
·         Cucu perempuan yang mewaris bersama cucu laki-laki; dan
·         Saudara perempuan sekandung/sebapak yang mewaris bersama-sama dengan saudara laki-laki sekandung/sebapak.

2.3    Ashabah ma’al-ghair adalah ahli waris yang menjadi ashabah bersama ahli waris lain. Kerabat perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima ushubah, yaitu
·         Saudara perempuan sekandung; dan
·         Saudara perempuan sebapak yang mewaris bersama anak perempuan atau cucu perempuan.[2]

2.4  Ushbah
Telah dijelaskan di atas bahwa disamping pengertian asabah dalam bidang kewarisan kita mempunyai pula pengertian usbah dalam bidang kekeluargaan. Usbah ialah kelompok orang yang seketurunan dilihat dari garis keturunan patrilineal.[3]

3.    Ahli Dzul Arham
Dzawul arham adalah golongan kerabat yang tidak termasuk dalam golongan ashabul furudh dan ashabah. Kerabat golongan ini baru mewaris jika tidak ada kerabat yang termasuk kedua golongan di atas. Menurut prof.hazairin (disebut sebagai mawali/ahli waris pengganti) : anggota keluarga menantu laki-laki. Sedangkan menurut Prof. M. Yunus: hubungan keluarga yang jauh.
Beberapa pendapat ulama mengenai masalah kewarisan dzawil arham antara lain :
3.1  Golongan pertama, orang yang menjadi keturunan si mati melalui jalur keturunan ke bawah, mereka itu adalah :
·         Cucu dari anak perempuan dan terus ke bawah, baik laki-laki atau perempuan.
·         Cicit dari cucu perempuan dari anak laki-laki dan terus ke bawah, baik laki-laki atau perempuan.

3.2  Golongan kedua, orang yang menjadi asal keturunan si mati (jalur keturunan ke atas). Mereka adalah :
·         Kakek yang tidak shahih (tidak langsung) terus ke atas, seperti ayahnya ibu dan kakeknya ibu.
·         Nenek yang tidak shahih (tidak langsung) terus ke atas, seperti ibu dari ayahnya ibu dan ibu dari ibunya ayah.
3.3  Golongan ketiga, orang yang dinasabkan kepada kedua orang tua si mati (kerabat jalur samping). Mereka adalah :
·         Anak-anak dari saudara perempuan sekandung/seayah/seibu, baik laki-laki atau perempuan.
·         Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung/seayah/seibu dan anak-anak keturunan mereka terus ke bawah.
·         Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, dan semua keturunannya seperti : cucu laki-laki dari anak laki-laki saudara seibu, atau cucu perempuan dari anak laki-laki saudara seibu.

3.4  Golongan keempat, orang yang dinasabkan kepada kedua kakek atau kedua nenek orang yang mati, baik dari jihat ayah atau jihat ibu. Mereka adalah :
·         Semua bibi dari pihak ayah orang yang mati (bibi sekandung/seayah/seibu), juga paman-paman dari pihak ibu si mayat, juga bibi dari pihak ibu si mayat dan semikian pula paman-pamannya ibu.
·         Anak-anak bibi dari pihak ibu, dan anak-anak paman dari pihak ibu, dan anak-anak paman ibu dari pihak bapaknya ibu, terus ke bawah.
·         Bibi ayah si mati dari pihak ayahnya, baik sekandung/seayah/seibu, paman-pamannya ibu dari bapaknya ibu, dan bibi-binya ibu dari bapaknya ibu, juga khal dari ibu dan khalah dari ibu, baik sekandung/seayah.
·         Anak-anak dari golongan tersebut (no. 3) dan terus ke bawah, seperti anak laki-laki dari bibinya ayah dan anak perempuan dari bibinya ayah, dan seterusnya.
·         Paman kakek mayit dari pihak ibu, paman nenek mayit dari pihak bapak, paman-paman dan bibi-bibi nenek dari pihak ibu dan bibinya kakek atau nenek dari pihak ibu.
·         Anak-anak mereka (no. 5) terus ke bawah.
II.            Sistem Kewarisan Billateral
Pencetus Prof.Hazairin. Mengenal penggantian tempat sebagai jawaban atas        permasalahan kaum syiah yang menganut sistem bilateral.

Penggolongan Ahli Waris Sistem Kewarisan Bilateral
1.            Ahli Waris Dzul Faraid
Adalah ahli waris yang mendapat bagian menurut ketentuan yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan hadits.

2.            Ahli Waris Dzul Qarabat
Ahli waris yang mendapat bagian warisan yang tidak tentu jumlahnya atau mendapat bagian sisa, atau mendapat bagian terbuka, baik dari garis laki-lki maupun perempuan. Dan bagian mereka disebut secara tersirat dalam ayat2 kewarisan sebagai contoh anak perempuan yang didampingi anak laki-laki, saudara perempuan yang didampingi saudara laki-laki, bagian harta warisan mereka sebagai dzul qurabat adalah bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.

3.            Ahli Waris Mawali
Adalah ahli waris pengganti, yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh oleh orang yang digantikan seandainya dia masih hidup, tetapi dalam kasus bersangkutan dia telah meninggal lebih dahuludari si pewaris. Orang yang digantikan ini hendaklah merupakan penghubung antara dia yang menggantikan ini dengan pewaris yang meninggalkan harta peninggalan. Mereka yang menjadi mawali ini ialah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris atau keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian mawaris ( bentuknya dapat saja dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris. Yang membedakan dengan ahli waris dzul arham adalah jika dzul arham menurut ahli sunnah, laki-laki dan perempun tidak berlaku ketentuan bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan pada kasus tertentu sedangkan menurut hazairin berlaku ketentuan bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.[4]


III.           Ahli Waris Yang Berhak Menerima Pembagian Warisan Berdasarkan Jenis Kelamin :
A.   Ahli Waris Laki-Laki
Terdiri dari 14 golongan yaitu :
·         Anak laki-laki
·         Cucu laki-laki dari anak laki-laki
·         Bapak
·         Kakek dari bapak dan seterusnya keatas
·         Saudara laki-laki sekandung
·         Saudara laki-laki sebapak
·         Saudara laki-laki seibu
·         Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
·         Anak laki-laki dari saudara sebapak
·         Paman ( saudara laki-laki bapak yang sekandung)
·         Paman ( saudara laki-laki bapak yang sebapak)
·         Anak laki-laki dari paman yang sekandung dari bapak
·         Anak laki-laki dari paman yang sebapak dengan bapak
·         Suami

Apabila 14 ahli waris tersebut ada atau hidup maka yang berhak memperoleh bagian dari harta peninggalan ada tiga golongan, yaitu:
1.    Anak laki-laki
2.    Suami
3.    Bapak

B.   Ahli Waris Perempuan
Terdiri dari Sembilan golongan, yaitu :
·         Anak perempuan
·         Cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki)
·         Ibu
·         Nenek (ibu dari bapak)
·         Nenek ( ibu dari ibu dan seterusnya keatas)
·         Saudara perempuan sekandung
·         Saudara perempuan sebapak
·         Saudara perempuan yang seibu
·         Istri

Apabila 9 ahli waris tersebut ada atau hidup maka yang berhak memperoleh bagian dari harta peninggalan ada 5 golongan :
1.    Istri
2.    Anak perempuan
3.    Cucu perempuan
4.    Ibu
5.    Saudara perempuan sekandung

Apabila semua ahli waris tersebut ada (baik laki-laki maupun perempuan) maka yang berhak memperoleh bagian dari harta peninggalan ada 5 golongan yaitu :
1.    Suami / istri
2.    Ibu
3.    Bapak
4.    Anak laki-laki
5.    Anak perempuan

IV.          Kelompokan keutamaan ahli waris menurut Al-Quran
Dalam system hukum waris Islam menurut Al-Quran yang merupakan system hukum waris bilateral, disamping dikenal adanya ahli waris dzul faraid yang bagiannya tetap, tertentu serta tidak berubah-ubah berdasarkan ketetapan yang ada didalam Al-Quran, juga terdapat ahli waris ashabah dan ahli waris dzul ar-ham yang memperoleh bagian sisa dari harta peninggalan setelah dikurangi hutang-hutang pewaris termasukn ongkos-ongkos biaya kematian, wasiat, dan bagian para ahli waris dzul faraid.
            Disamping itu semua dikenal pla kelompok keutamaan para ahli waris, yaitu “Ahli waris yang didahulukan untuk mewaris”, dari kelompok ahli waris yang lainnya. Mereka yang didahulukan untuk mewaris atau disebut dengan “Kelompok keutamaan menurut Al-Quran”, meliputi :
a.    Keutamaan pertama, yaitu :
1.)   Anak, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris pengganti kedudukan anak yang meninggal dunia.
2.)   Ayah, ibu, dan duda, atau janda, bila tidak terdapat anak
b.    Keutamaan kedua :
1.)   Saudara, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris pengganti kedudukan saudara.
2.)   Ayah, ibu, janda atau duda, bila tidak ada saudara

c.    Keutamaan ketiga :
1.)   Ibu dan ayah, bila ada keluarga, ibu dan ayah, bila ada salah satu, bila tidak ada anak, dan tidak ada saudara.
2.)   Janda atau duda
d.    Keutamaan keempat :
1.)   Janda atau duda
2.)   Ahli waris pengganti kedudukan ibu dan ahli waris pengganti kedudukan ayah.[5]

V.            Ahli waris yang tidak patut dan tidak berhak mendapat warisan
Diantara ahli waris ada yang tidak patut dan tidak berhak mendapat bagian warisan dari pewarisanya karena beberapa penyebab, yaitu :
a.    Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapat warisan dari keluarga yang dibunuhnya
b.    Orang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang beragama islam, demikian pula sebaliknya.
c.    Orang kafir tidak berhak menerima warisan dari keluarganya yang beragama islam.[6]













BAB III
PENUTUPAN
A.   Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat mengemukakan simpulan bahwa ahli waris adalah orang-orang yang karena sebab (keturunan, perkawinan/perbudakan) berhak mendapatkan bagian dari harta pusaka orang yang meninggal dunia.. Dengan jalan hal furudl yaitu bagian-bagian yang telah ditentukan oleh syariat Islam (al-Qur’an dan Hadits) berkenaan dengan orang yang mendapatkan harta warisan. Bagian-bagian itu adalah: 1/2, 1/4, 1/8, 1/6, 1/3, 2/3. Adapun penggolongan ahli waris ada bermacam-macam, yaitu ada yang berdasarkan sistem kewarisan patrilineal yang dibagi menjadi 3 golongan, yaitu : ahli waris dzul faraid, ahli waris ashobah, ahli waris dzul arham. Berdasarkan system kewarisan bilateral yang dibagi menjadi 3 golongan, yaitu : ahli waris dzul faraid, ahli waris dzul qarabat, ahli waris mawali. Dan pembagian warisan berdasarkan jenis kelamin, yaitu : ahli waris laki-laki 14 golongan, dan ahli waris perempuan 9 golongan. Dimana penggolongan ahli waris dan hal furudl ini telah ditentukan berdasarkan ketetapan syariat islam, yaitu dengan sumber Al-quran, Al-hadist, ijtihad ulama, dan pendapat para ahli.










DAFTAR PUSTAKA

·         Subchan, Bashori, Al-Faraidh hukum waris, Jakarta: Nusantara Publisher, 2009.
·         Zainudin, Ali, Pelaksanaan hokum waris di Indonesia, Jakarta: Sinar grafika, 2008.
·         Anwar, Moh, Fara’idl hukum waris dalam ISLAM dan Masalah-Masalahnya, Surabaya: Al-Ikhlas, 1981
·         Salman, Otje, Hukum Waris Islam,Bandung: Refika Aditama, 2006
·         Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam Indonesia., Jakarta : Sinar Grafika, 2001.
·         Suparman, Eman, Intisari Hukum Waris, Bandung: Mandar Maju, 1991



[1] Subchan Bashori,  Al-faraidh hukum waris, Jakata : Nusantara Publisher, 2009, hal 67
[2] Subchan Bashori, Al-faraidh hukum waris, Jakarta : Nusantara Publisher, 2009, hal 73
[3] Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta, hal 79
[4] Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta, Hal 62
[5] Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, Bandung: Mandar Maju, hal. 19
[6] Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, Bandung: Mandar Maju, hal. 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar