I. Artikel
Kasus
WTO Kembali Menangkan Kasus Rokok
Kretek Indonesia[1]
Organisasi
Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO) kembali memenangkan posisi
Indonesia dalam kasus ‘rokok kretek’ dengan Amerika Serikat (AS). Keputusan
tersebut dikeluarkan melalui laporan Appellate Body (AB) pada 4 April 2012 yang
menyatakan bahwa AS melanggar ketentuan WTO dan kebijakan AS dianggap sebagai
bentuk diskriminasi dagang. Indonesia menang baik ditingkat panel maupun
banding, ini merupakan keberhasilan diplomasi perdagangan kita. Kemenangan ini
penting tidak hanya bagi Indonesia, tetapi semua negara dalam hal menghargai
hasil keputusan WTO.
Menurut Dirjen Kerjasama Perdagangan
Internasional Kemendag, Iman Pambagyo, Kasus rokok kretek antara Indonesia dan
AS berawal dari diberlakukannya Family Smoking Prevention and Tobacoo Control
Act di AS. Undang-undang tersebut bertujuan untuk menurunkan tingkat perokok
muda di kalangan masyarakat AS dengan melarang produksi dan perdagangan rokok
beraroma, termasuk rokok kretek dan rokok beraroma buah-buahan. Namun,
ketentuan tersebut mengecualikan rokok beraroma mentol produksi dalam negeri
AS. Setelah proses konsultasi yang berlangsung panjang tanpa mencapai
kesepakatan, Indonesia akhirnya mengajukan pembentukan Panel ke Badan
Penyelesaian Sengketa WTO (Dispute Settlement Body – DSB) atas dasar AS
melanggar ketentuan WTO mengenai National Treatment Obligation yang tercantum
dalam Pasal 2.1 Technical Barrier to Trade (TBT) Agreement. “Dalam prinsip
National Treatment, setiap negara anggota WTO berkewajiban untuk memberikan
perlakuan yang sama terhadap produk sejenis baik yang diproduksinya di dalam
negeri maupun yang berasal dari impor negara anggota WTO lainnya,” jelas Imam.
Panel WTO menemukan bahwa kebijakan
AS tersebut tidak sesuai dengan ketentuan WTO karena rokok kretek dan rokok
mentol adalah produk sejenis (like products) dan keduanya memiliki daya tarik
yang sama bagi kaum muda. Menurut WTO, kebijakan yang membedakan perlakuan
terhadap dua produk sejenis merupakan tindakan yang tidak adil (less
favourable). Pemerintah AS yang tidak puas terhadap keputusan panel yang
dikeluarkan pada 2 September 2011, melakukan banding ke WTO pada 5 Januari
2012. Hasil banding yang dikeluarkan AB kemarin menegaskan kembali bahwa keputusan
Panel sebelumnya adalah benar dan pemerintah AS telah mengeluarkan kebijakan
yang tidak konsisten dengan ketentuan WTO. Disamping itu, AB menemukan bahwa AS
melanggar ketentuan Pasal 2.12 TBT Agreement dimana AS tidak memberikan waktu
yang cukup (reasonable interval) antara sosialisasi kebijakan dan waktu
penetapan kebijakan.
Lebih lanjut, AB merekomendasikan
kepada DSB agar meminta Pemerintah AS untuk membuat kebijakan sesuai dengan
ketentuan dalam TBT Agreement. Pemerintah Indonesia menyambut baik laporan AB
tersebut dan memberikan apresiasi yang tinggi atas kerja keras AB dan
kebijaksanaannya dalam mempertimbangkan pandangan indonesia terkait kasus ini.
“Pemerintah Indonesia bersedia untuk bekerjasama dengan AS dalam melakukan
implementasi atas laporan AB tersebut,” jelas Pambagyo.
Pambagyo menekankan bahwa tujuan
Indonesia mengajukan kasus rokok kretek ke WTO bukan hanya untuk meningkatkan
ekspor produk rokok ke AS, melainkan juga untuk mengamankan akses pasar rokok
kretek Indonesia di AS serta mencegah aturan yang diterapkan Pemerintah AS
ditiru oleh negara lain, termasuk negara-negara tujuan ekspor utama rokok
kretek Indonesia. “Indonesia sangat mendukung prinsip perdagangan yang adil
dengan turut menjaga komitmen internasional yang telah disepakati bersama dalam
WTO khususnya TBT Agreement. Semua negara harus menghormati, dan dengan
keputusan ini diharapkan negara anggota lainnya tidak mengikuti kebijakan AS
tersebut,” imbuhnya. Berdasarkan ketentuan Dispute Settlement Understanding
(DSU) Pasal 17.14, keputusan AB akan diadopsi oleh DSB setelah 30 hari
dikeluarkannya laporan AB, yaitu pada awal Mei 2012.
I I.
Analisa
National
Treatment
Persoalan utama yang menjadi gugatan
Indonesia ke WTO adalah adanya diskriminasi perlakuan nasional yang dilakukan oleh
Amerika atas rokok kretek terhadap rokok mentol dalam pasar domestik Amerika.
Ketentuan 907(a)(1)(A) melarang produk rokok yang mengandung rasa (flavor),
termasuk didalamnya rokok kretek, untuk dipasarkan di dalam negeri. Tujuannya
adalah untuk melindungi generasi muda Amerika dari bahaya rokok. Namun,
ketentuan tersebut tidak memasukkan rokok mentol dalam larangan tersebut. Fakta
yang ada adalah bahwa rokok kretek sebagian besar merupakan rokok impor dari
Indonesia sedangkan rokok mentol sebagian besar merupakan produk dalam negeri.
Atas dasar itulah Indonesia menggugat Amerika karena melakukan diskriminasi
terhadap produk rokok kretek impor dari Indonesia.
Seperti
diketahui bersama bahwa tujuan adanya WTO adalah untuk menghapuskan hambatan
perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, antar negara. Akan tetapi, WTO masih
membolehkan adanya pengecualian untuk melakukan pembatasan-pembatasan tersebut
demi alasan tertentu (dalam kasus ini alasan kesehatan). Pembatasan itu pun
memiliki syarat agar dapat diberlakukan yaitu; tidak diskriminatif.
Indonesia
dalam kasus ini tidak mempersoalkan ketentuan yang dibuat oleh Amerika atas
pelarangan peredaran rokok kretek dengan alasan kesehatan. Yang dipersoalkan
adalah mengapa ketentuan tersebut diberlakukan secara diskriminatif. Jika
alasanya kesehatan, harusnya rokok mentol juga dilarang sebab apapun jenisnya
semua rokok sudah pasti merusak kesehatan.
Ketentuan tersebut jelas saja
melanggar pondasi utama dari WTO yaitu perihal perlakuan nasional atas produk
sejenis dalam suatu pasar domestik sebuah negara. Indonesia kemudian
mendalilkan bahwa Amerika telah melanggar ketentuan Pasal III:4 GATT 1944, yang
berbunyi :
“The products of the territory of any contracting party
imported into the territory of any other contracting party shall be accorded
treatment no less favorable than that accorded to like products of national
origin in respect of all laws, regulations and requirements affecting their
internal sale, offering for sale, purchase, transportation, distribution or use.
The provisions of this paragraph shall not prevent the application of
differential internal transportation charges which are based exclusively on the
economic operation of the means of transport and not on the nationality of the
product.”
Dalam
ketentuan tersebut terdapat tiga unsur yang harus dipenuhi apabila kebijakan
suatu negara dianggap melanggar prinsip national treatment, yaitu :
1. Barang impor dan domestik merupakan
produk sejenis (like product)
2. Adanya ketentuan hukum atau
persyaratan yang mempengaruhi permintaan, penawaran, penjualan, transportasi,
distribusi dan penggunaan.
3. Adanya perlakuan tidak seimbang
(less favourable) antara produk domestik dan impor tersebut
Selain Pasal III:4 GATT 1944,
Indonesia juga mengutip Pasal 2 ayat 1 TBT Agreement atas tindakan diskriminasi
Amerika, yang berbunyi :
“Members shall ensure that in respect of technical
regulations, products imported from the territory of any Member shall be
accorded treatment no less favourable than that accorded to like products of
national origin and to like products originating in any other country.”
Ketentuan
tersebut berlaku lebih spesifik dibandingkan dengan Pasal III:4 GATT 1944.
Pasal 2 ayat 1 TBT Agreement hanya berlaku untuk sebuah aturan teknis
(technical regulation). Sebuah ketentuan dapat dianggap sebagai aturan teknis
harus memenuhi syarat tertentu yang telah diatur dalam Annex 1.1 TBT Agreement,
yaitu:
“Document
which lays down product characteristics or their related processes and
production methods, including the applicable administrative provisions, with
which compliance is mandatory. It may also include or deal exclusively with
terminology, symbols, packaging, marking or labeling requirements as they apply
to a product, process or production method.”
Pada
prakteknya, panel WTO dalam kasus EC-Asbestos dan EC-Sardines, telah memberikan
yurisprudensi bahwa ketentuan yang dapat dikategorikan sebagai aturan teknis
(technical regulation) apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Dokumen tersebut memuat identifikasi
atas suatu produk atau kelompok produk
2. Dokumen tersebut memuat karakteritik
(intrinsic atau berhubungan) suatu produk atau kelompok produk
3. Penaatan ketentuan tersebut
merupakan kewajiban (mandatory)
Setelah
mengetahui suatu ketentuan itu adalah aturan teknis atau bukan maka selanjutnya
dapat dilihat apakah ada perlakuan diskriminatif atas produk sejenis antara
barang impor dengan domestik dalam suatu pasar sebuah negara.
Pada
gugatan awal, Indonesia mengklaim bahwa ketentuan 907(a)(1)(A) telah melanggar
Pasal III:4 GATT 1944 dan Pasal 2 ayat 1 TBT Agreement perihal perlakuan
nasional. Namun, dalam tahap pemeriksaan tertulis pertama, Indonesia mengubah
gugatanya. Pasal III:4 GATT 1944 hanya dijadikan gugatan alternatif setelah
gugatan utama yaitu Pasal 2 ayat 1 TBT Agreement. Namun belum diketahui alasan mengapa Indonesia
mengubah gugatan awalnya dengan menjadikan Pasal III:4 GATT 1944 sebagai
gugatan alternatif. Disinilah yang dianggap letak kesalahan dari pihak
Indonesia.
Dalam
laporan panel, oleh karena ketentuan Pasal 2 ayat 1 TBT Agreement telah
terbukti dilanggar oleh Amerika maka gugatan alternatif tidak diperiksa lagi
oleh Panel. Padahal ketentuan Pasal III:4 GATT merupakan ruh utama dari WTO
jika sebuah kebijakan negara dianggap melanggar prinsip perlakuan nasional.
Dampak
tidak digunaknya ketentuan Pasal III:4 GATT 1944, maka ketentuan 907(a)(1)(A)
hanya dianggap sebagai aturan teknis semata sesuai ketentuan Pasal 2 ayat 1 TBT
Agreement. Selanjutnya panel memeriksa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 2 TBT
Agreement apakah ketentuan 907(a)(1)(A) termasuk pembatasan perdagangan
(trade-restrictive) atau sesuatu yang tindakan yang sah demi alasan kesehatan.
Panel
akhirnya memutuskan bahwa Indonesia gagal membuktikan bahwa ketentuan
907(a)(1)(A) merupakan pembatasan perdagangan yang dilarang. Dengan demikian
gugatan Pasal 2 ayat 2 TBT Agreement ditolak oleh Panel WTO. Laporan panel
dapat dibaca bahwa adanya kebimbangan Indonesia dalam melakukan gugatan atas
kasus rokok tersebut. Padahal penggunaan gugatan utama lebih dari satu atas
perjanjian WTO yang berbeda biasa dilakukan. Oleh karena itu, diubahnya gugatan
utama atas Pasal III:4 GATT 1944 menjadi gugatan alternatif dapat ditafsirkan
sebagai sikap setengah hati Indonesia memperjuangkan kepentingan nasional. Meskipun
jumlah ekspor rokok kretek ke Amerika tidak terlalu besar, kepentingan nasional
harus tetap diutamakan agar menjadi preseden bahwa pemerintah Indonesia
benar-benar menjalankan fungsi konstitusionalnya untuk melindungi
warga-negaranya.
Sehingga
sebaiknya Indonesia melakukan upaya banding atas putusan panel tersebut dengan
kembali mengangkat Pasal III:4 GATT 1944 sebagai dasar gugatanya. Dengan
demikian, kebijakan 907(a)(1)(A) tidak hanya dianggap sebagai aturan teknis
semata melainkan sebuah kebijakan yang melanggar prinsip utama WTO yaitu
perlakuan nasional (national treatment) yang menyebabkan keuntungan Indonesia
menjadi terabaikan.
I II.
Prinsip-Prinsip GATT/WTO
Prinsip-prinsip
Utama GATT/WTO yang berlaku mengikat bagi setiap anggotanya, adalah sebagai
berikut:
a.
Prinsip
Most-Favoured-Nations (Pasal I GATT)
Prinsip
ini diatur pada pasal 1 GATT 1994 yang mensyaratkan semua komitmen yang dibuat
atau ditandangani dalam rangka GATT-WTO, harus diperlakukan secara sama kepada
semua Negara anggota WTO tanpa syarat.
Semua negara anggota terikat untuk memberikan negara – negara lainnya
perlakuan yang sama dalam pelaksanaan kebijakan impor dan ekspor serta yang
menyangkut biaya – biaya lainnya. Misalnya suatu Negara tidak diperkenankan
untuk menerapkan tingkat tariff yang berbeda kepada suatu Negara dibandingkan
dengan Negara lainnya. Secara umum, MFN berarti bahwa setiap kali suatu Negara
menurunkan hambatan perdangannganya dan membuka pasar, ia harus melakukannya
untuk barang atau jasa yang sama dari semua mitra daganngnya.
Semua
negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati
keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan. Namun demikian, dalam
pelaksanaannya prinsip ini mendapat pengecualian – pengecualiannya.
Pengecualian terhadap prinsip Most Favored
Nations (MFN),sebagaimana diatur Pasal XXIV GATT 1947, bahwa prinsip ini tidak
berlaku:
1) Dalam
hubungan ekonomi antara negara-negara anggota
Free Trade Area/Customs Union dengan negara-negara yang bukan anggota,
misalnya antara negara anggota AFTA (Indonesia) dengan India.
2) Dalam
hubungan dagang antara negara-negara maju dengan negaranegara berkembang
melalui GSP (Generalized System of Preferences) sejak
tahun 1971.[2]
b.
Prinsip Perlindungan
melalui Tarif (Pasal
II GATT 1994 )
Prinsip
ini diatur dalam Pasal II GATT 1994, dimana setiap negara anggota GATT atau WTO harus memiliki daftar produk yang
tingkat bea masuk atau tarifnya harus diikat (legally bound). Pengikatan
tariff ini dimaksudkan untuk menciptakan “Prediktabilitas” dalam urusan bisnis
perdangan internasional atau ekspor. Artinya suatu Negara anggota tidak
dipernankan untuk sewenang-wenang merubah atau menaikkan tingkat tarif bea
masuk.
Adapun penerapan tarif impor itu
sendiri mempunyai beberapa fungsi yang diantaranya, yaitu:
1) Tarif sebagai pajak adalah tarif
terhadap barang impor (pajak barang impor) yang merupakan pungutan dari Negara
yang akan dijadikan sebagai kas Negara.
2) Tarif yang dilakukan untuk
melindungi produk domestik dari praktek dumping yang dilakukan Negara
pengekspor.
3) Tarif untuk memberikan balasan
(retaliasi) bagi Negara pengekspor yang melakukan proteksi produk melalui
praktek subsidi terhadap produk impor.[3]
c.
Prinsip
National Treatment (Pasal III GATT)
Prinsip
National Treatment terdapat dalam Pasal III GATT. Menurut prinsip ini, produk
dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama
seperti halnya produk dalam negeri. Prinsip ini sifatnya berlaku luas. Prinsip
ini juga berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan– pungutan lainnya. Ia
belaku pula terhadap perundang – undangan, pengaturandan persyaratan –
persyaratan (hukum) yang mempengaruhi penjualan,pembelian, pengangkutan,
distribusi atau penggunaan produk- produk dipasar dalam negeri. Prinsip ini
juga memberikan perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya –
upaya atau kebijakan administratif atau legislatif.
Prinsip
National Treatment dan prinsip MFN merupakan prinsip sentral dibandingkan dengan
prinsip – prinsip lainnya dalam GATT. Kedua prinsip ini menjadi prinsip
pengaturan bidang – bidang perdagangan yang kelak lahir didalam perjanjian
putaran Uruguay. Misalnya prinsip ini tercantum dalam Pasal 3 Perjanjian TRIPS.
Kedua prinsip ini diberlakukan pula dalam GeneralAgreement on Trade in Service
(GATS). Dalam GATS, negara – negara anggotaWTO diwajibkan untuk memberlakukan
perlakuan yang sama terhadap jasa- jasa
atau para pemberi jasa dari suatu negara dengan negara lainnya.
Jenis- jenis tindakan yang dilarang
berdasarkan ketentuan in antar lain, pungutan dalam negeri, undang- undang,
peraturan dan pensyaratan yang mempengaruhi penjualan, pembelian, transportasi,
distribusi atau penggunaan produk, pengaturan tentang jumlah yang mensyaratkan
campuran, pemrosesan atau penggunaan produk-produk dalam negeri.
d.
Prinsip Perlindungan
hanya melalui Tarif (Pasal XI GATT)
Prinsip
ini mesyaratkan bahwa hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri
domestik melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui
upaya–upaya perdagangan lainnya (non-tarif commercial measures).
pembatasan kuantitatif dalam rangka
memperbaiki neraca pembayaran. (Governmental assistance to economic
development-Pasal 18). Jelasnya setiap Negara peserta yang ingin
memperbaiki posisi financial eksternal dan neraca pembayarannya boleh membatasi
jumlah atau nilai barang yang diizinkan untuk diimpor dengan
persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Pasal XI. Misalnya hambatan impor yang
dikenakan atau ditingkatkan oleh Negara peserta tidak boleh melebihi apa yang
diperlukan untuk mencegah atau menghentikan ancaman penurunan cadangan moneter
atau bagi Negara yang memiliki cadangan moneter yang rendah untuk mencapai
tingkat pertambahan yang wajar dalam cadangannya.
e.
Perlakuan Khusus Bagi
Negara Sedang Berkembang (Special dan Differential Treatment for
developing countries.
Sekitar 2/3 negara – negara anggota GATT/WTO adalah negara –
Negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, atau yang masih berada dalam
tahap awal pembangunan ekonominya. Untuk membantu pembangunan mereka, pada
tahun 1965, suatu bagian baru yaitu Part IV yang memuat 3 pasal (Pasal XXXVI –
XXXVIII) tersebut dimaksudkan untuk mendorong negara – Negara industri dalam
membantu pertumbuhan ekonomi negara yang sedang berkembang. Pasal-pasal ini
mengisyaratkan hal sebagai berikut:
1) Mengakui
kebutuhan negara yang sedang berkembang untuk menikmati akses pasar yang lebih
menguntungkan.
2) Melarang
negara – negara maju untuk membuat rintangan–rintangan baru terhadap ekspor
negara – negara berkembang.
3) Negara
– negara industri juga mau menerima bahwa mereka tidak akan meminta balasan
dalam perundingan mengenai penurunan atau penghilangan tarif dan rintangan –
rintangan lain terhadap perdagangan negara – negara yang sedang berkembang.
Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan
kemudahan-kemudahan bagi Negara-negara berkembang anggota WTO untuk
melaksanakan persetujuan WTO.
Tidak hanya prinsip-prinsip utama yang memudahkan
keterlibatan setiap anggota WTO dalam menerapkan perjanjian-perjanjian yang ada
dalam WTO, tetapi ada prinsip-prinsip lain yang mendukung prinsip-prinsip utama
yang disebutkan diatas. Adapun Prinsip-prinsip Lain WTO adalah sebagai berikut:
a.
Prinsip
Resiprositas (Pasal II GATT 1947)
Perlakuan
sama biasanya tertuang dalam suatu perjanjian, baik bersifat multilateral
maupun bilateral.
Prinsip
ini mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik di antara sesama negara anggota
WTO dalam kebijaksanaan perdagangan internasional. Artinya, apabila suatu
negara, dalam kebijaksanaan perdagangan internasionalnya menurunkan tarif masuk
atas produk impor dari suatu negara, maka negara pengekspor produk tersebut
wajib juga menurunkan tarif masuk untuk produk dari negara yang pertama tadi.
Berdasarkan prinsip ini diharapkan setiap negara secara timbal balik saling
memberikan kemudahan bagi lalulintas barang dan jasa. Dengan demikian, pada
akhirnya diharapkan setiap negara akan saling menikmati hasil perdagangan
internasional yang lancar dan bebas.
Prinsip Resiprosias merupakan prinsip fundamental dalam perdagangan internasional,
sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan (Preambule) GATT antara lain, bahwa:
”being desirous of
contributing to these objectives desirous of contributing to these objectives
but entering into reciprocal and mutually advantageous arrangement....”
Prinsip
ini diterapkan terutama dalam hal terjadinya pertukaran barang antara dua
negara secara timbal balik yang menghendaki adanya kebijaksanaan atau konsesi
yang seimbang dan saling menguntungkan antara negara yang satu dengan yang
lainnya dalam perdagangan perdagangan internasional.[4]
b.
Larangan
Kuota, subsidi, dan dumping
Larangan
Dumping (Pasal VI) dan Subsidi (Pasal XVI), dimaksudkan agar jangan sampai
terjadi suatu negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan
kebijaksanaan tertentu, sedangkan di pihak lain, kebijaksanaan tersebut justru
menimbulkan kerugian bagi negara lainnya. Dalam perdagangan internasional,
prinsip fairness ini diarahkan untuk menghilangkan praktek-praktek ekonomi yang
disebut dengan praktek subsidi dan dumping.
Oleh
karena subsidi dan dumping dinilai sebagai praktek ekonomi yang tidak adil atau
curang, maka WTO mengaturnya dengan menyatakankan bahwa, apabila suatu negara
terbukti melakukan praktek tersebut, maka negara pengimpor yang dirugikan oleh
praktek itu mempunyai hak untuk menjatuhkan sanksi balasan, Sanksi balasan itu
adalah berupa pengenaan bea masuk tambahan yang disebut dengan "bea masuk
anti dumping" yang dijatuhkan terhadap produk-produk yang diekspor secara
dumping dan countervailing duties atau bea masuk untuk barang-barang yang terbukti
telah diekspor dengan fasilitas subsidi.
c.
Prinsip
Larangan Restriksi (Pembatasan kuantitatif)
Yang
menjadi ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi kuantitatif yang
merupakan rintangan terbesar terhadap GATT. Restriksi kuantitatif terhadap
ekspor atau impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor atau
ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan pembayaran
produk-produk impor atau ekspor), pada umumnya dilarang (Pasal IX). Hal ini
disebabkan karena praktek demikian mengganggu praktek perdagangan yang normal.
Restriksi kuantitatif dewasa ini tidak begitu meluas di negara maju. Namun
demikian, tekstil, logam, dan beberapa produk tertentu, yang kebanyakan berasal
dari negara-negara sedang berkembang masih acapkali terkena rintangan ini.
Namun demikian dalam
pelaksanaannya, hal tersebut dapat dilakukan dalam hal: pertama, untuk
mencegah terkurasnya produk-produk
esensial di negara pengekspor; kedua, untuk melindungi pasal dalam
negeri khususnya yang menyangkut produk pertanian dan perikanan; ketiga,
untuk mengamankan, berdasarkan escape clause (Pasal XIX), meningkatnya
impor yang berlebihan (increase of imports) di dalam negeri sebagai
upaya untuk melindungi, misalnya, terancamnya produksi dalam negeri. keempat,
untuk melindungi neraca pembayaran (luar negerinya) (Pasal XII). Meskipun
demikian restriksi tersebut tidak boleh diterapkan di luar yang diperlukan
untuk melindungi neraca pembayarannya. Restriksi itu pun secara progesif harus
dikurangi bahkan dihilangkan apabila tidak dibutuhkan kembali. Dengan adanya
pengakuan sebagaimana diatur dalam Pasal XVII, pengecualian itu telah diperluas
pada negara-negara sedang berkembang. Dalam hal ini negara tersebut dapat
memberlakukan restriksi kuantitatif untuk mencegah terkurasnya valuta asing
(devisa) mereka yang disebabkan oleh adanya permintaan untuk impor yang
diperlukan bagi pembayaran atau karena mereka sedang mendirikan atau memperluas
produksi dalam negerinya. Bagi kepentingan negara tersebut, GATT
menyelenggararakan konsultasi secara reguler yang diadakan dengan negara yang
mengajukan restriksi impor untuk melindungi neraca pembayarannya. Menurut Pasal
XIII, restriksi kuantitatif ini, meskipun diperbolehkan, tidak boleh diterapkan
secara diskriminatif. Ketentuan dasar GATT adalah
larangan restriksi keantitatif yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT.
Restriksi kuantitatif terhada ekspor atau impor dalam bentuk apapun (misalnya
penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau
ekspor, pengawasan pembayaran produk – produk impor atau ekspor), pada umumnya
dilarang (Pasal IX) hal ini disebabkan karena praktik demikian mengganggu
praktik perdagangan yang normal.[5]
IV. Pengecualian Prinsip-prinsip GATT/WTO
GATT/WTO mengatur berbagai
pengecualian dari prinsip dasar seperti[6]
:
1. Kerjasama regional,
bilateral dan custom union.
Pasal XXIV
GATT 1994 memperkenankan anggota WTO untuk membentuk kerjasama perdagangan
regional, bilateral dan custom union asalkan komitmen tiap-tiap anggota WTO
yang tergabung dalam kerjasama perdagangan tersebut tidak berubah sehingga
merugikan negara anggota WTO lain yang tidak termasuk dalam kerjasama
perdagangan tersebut.
2. Pengecualian umum.
Pasal XX GATT
1994 memperkenankan suatu negara untuk melakukan hambatan perdagangan dengan
alasan melindungi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan ;importasi
barang yang bertentangan dengan moral;konservasi hutan; mencegah perdagangan
barang-barang pusaka atau yang bernilai budaya, perdagangan emas.
3. Tindakan anti-dumping dan
subsidi.
Pasal VI GATT
1994, Persetujuan Antidumping dan subsidi memperkenankan pengenaan bea masuk
anti-dumping dan bea masuk imbalan hanya kepada perusahaan-perusahaan yang
terbukti bersalah melakukan dumping dan mendapatkan subsidi.
4. Tindakan safeguards
Pasal XIX GATT
1994 dan persetujuan Safeguard memperkenankan suatu negara untuk mengenakan
kuota atas suatu produk impor yang mengalami lonjakan substansial yang
merugikan industri dalam negeri.
5. Tindakan safeguard untuk
mengamankan balance of payment
6. Melarang masuknya
suatu produk yang terbukti mengandung penyakit berbahaya atau penyakit menular
yang membahayakan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.
V.
Negara
berkembang dapat menggunakan pengecualian prinsip-prinsip GATT/WTO
1.
Committee on Governmental Procurement
Negara
berkembang yang berminat masuk dalam perjanjian khusus ini dapat dikecualikan
dari ketentuan mengenai national treatmnent melalui negosiasi dengan
negara-negara penadatangan lainnya. Pengecuaian tersebut dapat diberikan kepada
negara-negara berkembang yang mengalami kesulitan dalam neraca pembayaran
ataupun karena situasi tingkat perkembangan, keuangan dan perdagangannya tidak
memungkinkan negara yang bersangkutan untuk dapat memenuhi ketentuan mengenai
national treatment tersebut. Selain itu bagi negara-negara berkembang yang
menjadi anggota suatu regional-global arrangement antara negara-negara
berkembang dapat dikecualikan dari ketentuan national treatment tersebut (Pasal
III: 4, 5 ,6 dan 7)
Adanya
Committee on Government Procurement yang merupakan badan pengawas pelaksanaan
Agreement tersebut, dan diikutkannya wakil dari negara berkembang dalam
Committee tersebut maka kepentingan negara berkembang dapat diperjuangkan.
Adanya
bantuan teknis yang dapat diberikan atas permintaan negara berkembang yang
bersangkutan. Bantuan tersebut dimaksudkan untuk membantu negara-negara
berkembang untuk memecahkan permasalahan yang mereka hadapi dalam bidang
government procurement(Pasal III: 8 dan 9)
Negara-negara
maju akan mendirikan information centre untuk menampung dan menjawab pertanyaan
yang diajukan negara berkembang sehubungan dengan masalah government
procurement (Pasal III:10)
Mengenai
special and differential treatment, oleh committee secara berkala akan
dilakukan peninjauan kembali apakah pengecualian yang diberikan kepada suatu
negara akan diperpanjang waktunya. (Pasal III: 13)
2.
Waiver dan Pembatasan Darurat terhadap Impor
GATT
mengijinkan diadakannya perkecualian dalam bentuk waiver dan langkah
darurat lainnya. Perkecualian dalam bentuk waiver misalnya suatu negara dalam
melaksanakan kebijakan bidang pertaniannya sebenarnya melanggar GATT, tetapi
karena telah ditetapkan sebelum adanya GATT, maka kebijakan tersebut memperoleh
waiver (pelepasan tuntutan).
Dalam
kasus tertentu suatu negara dapat menghadapi suasana darurat yang memerlukan
penanganan dengan mengambil langkah proteksi karena industri dalam negerinya
menghadapi masalah. Pasal XIX mengizinkan suatu negara untuk mengambil langkag
protektif tersebut. Tetapi pasal XIX menyatakan bahwa langkah protektif
tersebut adalah langkah darurat yang bersifat sementara. Perkecualian tersebut
dikenal sebagai safeguards. Dengan syarat yang ditentukan secara khusus, suatu
negara anggota GATT dapat menerapkan suatu restriksi dalam impornya atau
mencabut konsesi tariff yang telah diberikan kepada negara lain untuk
produk-produk yang telah mengalami peningkatan impor yang sedemikian besar
shingga menimbulkan kesulitan yang berat untuk industri dalam negeri
negara-negara yang bersangkutan.
3.
Perkecualian untuk Perjanjian Perdagangan Regional
Perjanjian
perdagangan regional banyak dimaksudkan bertujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan hambatan perdagangan dalam bentuk bea masuk (tariff) atau hambatan
lainnya (non-tariff). Perjanjian semacam ini sebenarnya bertentangan dengan
prinsip most-favored-nation.
Namun
demikian, Pasal XXIV GATT telah mengizinkan perjanjian perdagangan regional,
tetapi dengan ketentuan bahwa tujuannya untuk meningkatkan perdagangan, tanpa
harus meningkatkan bea masuk maupun hambatan non-tariff tambahan terhadap
barang dari negara-negara non-anggota sehingga menimbulkan hambatan pada taraf
yang lebih tinggi daripada yang berlaku sebelum adanya perjanjian.
[1] http://www.majalahglobalreview.com/ekonomi/perdagangan/9-perdagangan-/29-wto-kembali-menangkan-kasus-rokok-kretek-indonesia.html
[2] Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, hlm 49
[3] Ibid, hlm 56
[4] Muhammad Sood, Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Internasional., hlm
45
[5]Huala adolf, Hukum Ekonomi Internasional. Hlm. 54
[6] H. S. Kartadjoemena, “GATT dan WTO; Sistem Forum
dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan”, hlm 55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar