Minggu, 26 April 2015

Artikel Kasus Wto



I.       Artikel Kasus
WTO Kembali Menangkan Kasus Rokok Kretek Indonesia[1]
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO) kembali memenangkan posisi Indonesia dalam kasus ‘rokok kretek’ dengan Amerika Serikat (AS). Keputusan tersebut dikeluarkan melalui laporan Appellate Body (AB) pada 4 April 2012 yang menyatakan bahwa AS melanggar ketentuan WTO dan kebijakan AS dianggap sebagai bentuk diskriminasi dagang. Indonesia menang baik ditingkat panel maupun banding, ini merupakan keberhasilan diplomasi perdagangan kita. Kemenangan ini penting tidak hanya bagi Indonesia, tetapi semua negara dalam hal menghargai hasil keputusan WTO.
Menurut Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional Kemendag, Iman Pambagyo, Kasus rokok kretek antara Indonesia dan AS berawal dari diberlakukannya Family Smoking Prevention and Tobacoo Control Act di AS. Undang-undang tersebut bertujuan untuk menurunkan tingkat perokok muda di kalangan masyarakat AS dengan melarang produksi dan perdagangan rokok beraroma, termasuk rokok kretek dan rokok beraroma buah-buahan. Namun, ketentuan tersebut mengecualikan rokok beraroma mentol produksi dalam negeri AS. Setelah proses konsultasi yang berlangsung panjang tanpa mencapai kesepakatan, Indonesia akhirnya mengajukan pembentukan Panel ke Badan Penyelesaian Sengketa WTO (Dispute Settlement Body – DSB) atas dasar AS melanggar ketentuan WTO mengenai National Treatment Obligation yang tercantum dalam Pasal 2.1 Technical Barrier to Trade (TBT) Agreement. “Dalam prinsip National Treatment, setiap negara anggota WTO berkewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap produk sejenis baik yang diproduksinya di dalam negeri maupun yang berasal dari impor negara anggota WTO lainnya,” jelas Imam.
Panel WTO menemukan bahwa kebijakan AS tersebut tidak sesuai dengan ketentuan WTO karena rokok kretek dan rokok mentol adalah produk sejenis (like products) dan keduanya memiliki daya tarik yang sama bagi kaum muda. Menurut WTO, kebijakan yang membedakan perlakuan terhadap dua produk sejenis merupakan tindakan yang tidak adil (less favourable). Pemerintah AS yang tidak puas terhadap keputusan panel yang dikeluarkan pada 2 September 2011, melakukan banding ke WTO pada 5 Januari 2012. Hasil banding yang dikeluarkan AB kemarin menegaskan kembali bahwa keputusan Panel sebelumnya adalah benar dan pemerintah AS telah mengeluarkan kebijakan yang tidak konsisten dengan ketentuan WTO. Disamping itu, AB menemukan bahwa AS melanggar ketentuan Pasal 2.12 TBT Agreement dimana AS tidak memberikan waktu yang cukup (reasonable interval) antara sosialisasi kebijakan dan waktu penetapan kebijakan.
Lebih lanjut, AB merekomendasikan kepada DSB agar meminta Pemerintah AS untuk membuat kebijakan sesuai dengan ketentuan dalam TBT Agreement. Pemerintah Indonesia menyambut baik laporan AB tersebut dan memberikan apresiasi yang tinggi atas kerja keras AB dan kebijaksanaannya dalam mempertimbangkan pandangan indonesia terkait kasus ini. “Pemerintah Indonesia bersedia untuk bekerjasama dengan AS dalam melakukan implementasi atas laporan AB tersebut,” jelas Pambagyo.
Pambagyo menekankan bahwa tujuan Indonesia mengajukan kasus rokok kretek ke WTO bukan hanya untuk meningkatkan ekspor produk rokok ke AS, melainkan juga untuk mengamankan akses pasar rokok kretek Indonesia di AS serta mencegah aturan yang diterapkan Pemerintah AS ditiru oleh negara lain, termasuk negara-negara tujuan ekspor utama rokok kretek Indonesia. “Indonesia sangat mendukung prinsip perdagangan yang adil dengan turut menjaga komitmen internasional yang telah disepakati bersama dalam WTO khususnya TBT Agreement. Semua negara harus menghormati, dan dengan keputusan ini diharapkan negara anggota lainnya tidak mengikuti kebijakan AS tersebut,” imbuhnya. Berdasarkan ketentuan Dispute Settlement Understanding (DSU) Pasal 17.14, keputusan AB akan diadopsi oleh DSB setelah 30 hari dikeluarkannya laporan AB, yaitu pada awal Mei 2012.
I  I.    Analisa
National Treatment
Persoalan utama yang menjadi gugatan Indonesia ke WTO adalah adanya diskriminasi perlakuan nasional yang dilakukan oleh Amerika atas rokok kretek terhadap rokok mentol dalam pasar domestik Amerika. Ketentuan 907(a)(1)(A) melarang produk rokok yang mengandung rasa (flavor), termasuk didalamnya rokok kretek, untuk dipasarkan di dalam negeri. Tujuannya adalah untuk melindungi generasi muda Amerika dari bahaya rokok. Namun, ketentuan tersebut tidak memasukkan rokok mentol dalam larangan tersebut. Fakta yang ada adalah bahwa rokok kretek sebagian besar merupakan rokok impor dari Indonesia sedangkan rokok mentol sebagian besar merupakan produk dalam negeri. Atas dasar itulah Indonesia menggugat Amerika karena melakukan diskriminasi terhadap produk rokok kretek impor dari Indonesia.
Seperti diketahui bersama bahwa tujuan adanya WTO adalah untuk menghapuskan hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, antar negara. Akan tetapi, WTO masih membolehkan adanya pengecualian untuk melakukan pembatasan-pembatasan tersebut demi alasan tertentu (dalam kasus ini alasan kesehatan). Pembatasan itu pun memiliki syarat agar dapat diberlakukan yaitu; tidak diskriminatif.
Indonesia dalam kasus ini tidak mempersoalkan ketentuan yang dibuat oleh Amerika atas pelarangan peredaran rokok kretek dengan alasan kesehatan. Yang dipersoalkan adalah mengapa ketentuan tersebut diberlakukan secara diskriminatif. Jika alasanya kesehatan, harusnya rokok mentol juga dilarang sebab apapun jenisnya semua rokok sudah pasti merusak kesehatan.
Ketentuan tersebut jelas saja melanggar pondasi utama dari WTO yaitu perihal perlakuan nasional atas produk sejenis dalam suatu pasar domestik sebuah negara. Indonesia kemudian mendalilkan bahwa Amerika telah melanggar ketentuan Pasal III:4 GATT 1944, yang berbunyi :
“The products of the territory of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less favorable than that accorded to like products of national origin in respect of all laws, regulations and requirements affecting their internal sale, offering for sale, purchase, transportation, distribution or use. The provisions of this paragraph shall not prevent the application of differential internal transportation charges which are based exclusively on the economic operation of the means of transport and not on the nationality of the product.”
Dalam ketentuan tersebut terdapat tiga unsur yang harus dipenuhi apabila kebijakan suatu negara dianggap melanggar prinsip national treatment, yaitu :
1.      Barang impor dan domestik merupakan produk sejenis (like product)
2.      Adanya ketentuan hukum atau persyaratan yang mempengaruhi permintaan, penawaran, penjualan, transportasi, distribusi dan penggunaan.
3.      Adanya perlakuan tidak seimbang (less favourable) antara produk domestik dan impor tersebut
Selain Pasal III:4 GATT 1944, Indonesia juga mengutip Pasal 2 ayat 1 TBT Agreement atas tindakan diskriminasi Amerika, yang berbunyi :
“Members shall ensure that in respect of technical regulations, products imported from the territory of any Member shall be accorded treatment no less favourable than that accorded to like products of national origin and to like products originating in any other country.”
Ketentuan tersebut berlaku lebih spesifik dibandingkan dengan Pasal III:4 GATT 1944. Pasal 2 ayat 1 TBT Agreement hanya berlaku untuk sebuah aturan teknis (technical regulation). Sebuah ketentuan dapat dianggap sebagai aturan teknis harus memenuhi syarat tertentu yang telah diatur dalam Annex 1.1 TBT Agreement, yaitu:
“Document which lays down product characteristics or their related processes and production methods, including the applicable administrative provisions, with which compliance is mandatory. It may also include or deal exclusively with terminology, symbols, packaging, marking or labeling requirements as they apply to a product, process or production method.”
Pada prakteknya, panel WTO dalam kasus EC-Asbestos dan EC-Sardines, telah memberikan yurisprudensi bahwa ketentuan yang dapat dikategorikan sebagai aturan teknis (technical regulation) apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Dokumen tersebut memuat identifikasi atas suatu produk atau kelompok produk
2.      Dokumen tersebut memuat karakteritik (intrinsic atau berhubungan) suatu produk atau kelompok produk
3.      Penaatan ketentuan tersebut merupakan kewajiban (mandatory)
Setelah mengetahui suatu ketentuan itu adalah aturan teknis atau bukan maka selanjutnya dapat dilihat apakah ada perlakuan diskriminatif atas produk sejenis antara barang impor dengan domestik dalam suatu pasar sebuah negara.
Pada gugatan awal, Indonesia mengklaim bahwa ketentuan 907(a)(1)(A) telah melanggar Pasal III:4 GATT 1944 dan Pasal 2 ayat 1 TBT Agreement perihal perlakuan nasional. Namun, dalam tahap pemeriksaan tertulis pertama, Indonesia mengubah gugatanya. Pasal III:4 GATT 1944 hanya dijadikan gugatan alternatif setelah gugatan utama yaitu Pasal 2 ayat 1 TBT Agreement. Namun  belum diketahui alasan mengapa Indonesia mengubah gugatan awalnya dengan menjadikan Pasal III:4 GATT 1944 sebagai gugatan alternatif. Disinilah yang dianggap letak kesalahan dari pihak Indonesia.
Dalam laporan panel, oleh karena ketentuan Pasal 2 ayat 1 TBT Agreement telah terbukti dilanggar oleh Amerika maka gugatan alternatif tidak diperiksa lagi oleh Panel. Padahal ketentuan Pasal III:4 GATT merupakan ruh utama dari WTO jika sebuah kebijakan negara dianggap melanggar prinsip perlakuan nasional.
Dampak tidak digunaknya ketentuan Pasal III:4 GATT 1944, maka ketentuan 907(a)(1)(A) hanya dianggap sebagai aturan teknis semata sesuai ketentuan Pasal 2 ayat 1 TBT Agreement. Selanjutnya panel memeriksa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 2 TBT Agreement apakah ketentuan 907(a)(1)(A) termasuk pembatasan perdagangan (trade-restrictive) atau sesuatu yang tindakan yang sah demi alasan kesehatan.
Panel akhirnya memutuskan bahwa Indonesia gagal membuktikan bahwa ketentuan 907(a)(1)(A) merupakan pembatasan perdagangan yang dilarang. Dengan demikian gugatan Pasal 2 ayat 2 TBT Agreement ditolak oleh Panel WTO. Laporan panel dapat dibaca bahwa adanya kebimbangan Indonesia dalam melakukan gugatan atas kasus rokok tersebut. Padahal penggunaan gugatan utama lebih dari satu atas perjanjian WTO yang berbeda biasa dilakukan. Oleh karena itu, diubahnya gugatan utama atas Pasal III:4 GATT 1944 menjadi gugatan alternatif dapat ditafsirkan sebagai sikap setengah hati Indonesia memperjuangkan kepentingan nasional. Meskipun jumlah ekspor rokok kretek ke Amerika tidak terlalu besar, kepentingan nasional harus tetap diutamakan agar menjadi preseden bahwa pemerintah Indonesia benar-benar menjalankan fungsi konstitusionalnya untuk melindungi warga-negaranya.
Sehingga sebaiknya Indonesia melakukan upaya banding atas putusan panel tersebut dengan kembali mengangkat Pasal III:4 GATT 1944 sebagai dasar gugatanya. Dengan demikian, kebijakan 907(a)(1)(A) tidak hanya dianggap sebagai aturan teknis semata melainkan sebuah kebijakan yang melanggar prinsip utama WTO yaitu perlakuan nasional (national treatment) yang menyebabkan keuntungan Indonesia menjadi terabaikan.

I   II. Prinsip-Prinsip GATT/WTO
Prinsip-prinsip Utama GATT/WTO yang berlaku mengikat bagi setiap anggotanya, adalah sebagai berikut:
a.      Prinsip Most-Favoured-Nations (Pasal I GATT) 
Prinsip ini diatur pada pasal 1 GATT 1994 yang mensyaratkan semua komitmen yang dibuat atau ditandangani dalam rangka GATT-WTO, harus diperlakukan secara sama kepada semua Negara anggota WTO tanpa syarat.  Semua negara anggota terikat untuk memberikan negara – negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya – biaya lainnya. Misalnya suatu Negara tidak diperkenankan untuk menerapkan tingkat tariff yang berbeda kepada suatu Negara dibandingkan dengan Negara lainnya. Secara umum, MFN berarti bahwa setiap kali suatu Negara menurunkan hambatan perdangannganya dan membuka pasar, ia harus melakukannya untuk barang atau jasa yang sama dari semua mitra daganngnya.
Semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya prinsip ini mendapat pengecualian – pengecualiannya. Pengecualian terhadap prinsip  Most Favored Nations (MFN),sebagaimana diatur Pasal XXIV GATT 1947, bahwa prinsip ini tidak berlaku:
1)      Dalam hubungan ekonomi antara negara-negara anggota  Free Trade Area/Customs Union dengan negara-negara yang bukan anggota, misalnya antara negara anggota AFTA (Indonesia) dengan India.
2)      Dalam hubungan dagang antara negara-negara maju dengan negaranegara berkembang melalui  GSP  (Generalized System of Preferences) sejak tahun 1971.[2]

b.     Prinsip Perlindungan melalui Tarif (Pasal II GATT 1994 )
Prinsip ini diatur dalam Pasal II GATT 1994, dimana setiap negara anggota GATT atau WTO harus memiliki daftar produk yang tingkat bea masuk atau tarifnya harus diikat (legally bound). Pengikatan tariff ini dimaksudkan untuk menciptakan “Prediktabilitas” dalam urusan bisnis perdangan internasional atau ekspor. Artinya suatu Negara anggota tidak dipernankan untuk sewenang-wenang merubah atau menaikkan tingkat tarif bea masuk.
Adapun penerapan tarif impor itu sendiri mempunyai beberapa fungsi yang diantaranya, yaitu:
1)      Tarif sebagai pajak adalah tarif terhadap barang impor (pajak barang impor) yang merupakan pungutan dari Negara yang akan dijadikan sebagai kas Negara.
2)      Tarif yang dilakukan untuk melindungi produk domestik dari praktek dumping yang dilakukan Negara pengekspor.
3)      Tarif untuk memberikan balasan (retaliasi) bagi Negara pengekspor yang melakukan proteksi produk melalui praktek subsidi terhadap produk impor.[3]

c.       Prinsip National Treatment (Pasal III GATT)
Prinsip National Treatment terdapat dalam Pasal III GATT. Menurut prinsip ini, produk dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri. Prinsip ini sifatnya berlaku luas. Prinsip ini juga berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan– pungutan lainnya. Ia belaku pula terhadap perundang – undangan, pengaturandan persyaratan – persyaratan (hukum) yang mempengaruhi penjualan,pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk- produk dipasar dalam negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya – upaya atau kebijakan administratif atau legislatif.
Prinsip National Treatment dan prinsip MFN merupakan prinsip sentral dibandingkan dengan prinsip – prinsip lainnya dalam GATT. Kedua prinsip ini menjadi prinsip pengaturan bidang – bidang perdagangan yang kelak lahir didalam perjanjian putaran Uruguay. Misalnya prinsip ini tercantum dalam Pasal 3 Perjanjian TRIPS. Kedua prinsip ini diberlakukan pula dalam GeneralAgreement on Trade in Service (GATS). Dalam GATS, negara – negara anggotaWTO diwajibkan untuk memberlakukan perlakuan yang sama terhadap jasa-  jasa atau para pemberi jasa dari suatu negara dengan negara lainnya.
 Jenis- jenis tindakan yang dilarang berdasarkan ketentuan in antar lain, pungutan dalam negeri, undang- undang, peraturan dan pensyaratan yang mempengaruhi penjualan, pembelian, transportasi, distribusi atau penggunaan produk, pengaturan tentang jumlah yang mensyaratkan campuran, pemrosesan atau penggunaan produk-produk dalam negeri.

d.      Prinsip Perlindungan hanya melalui Tarif  (Pasal XI GATT)
Prinsip ini mesyaratkan bahwa hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui upaya–upaya perdagangan lainnya (non-tarif commercial measures).
pembatasan kuantitatif dalam rangka memperbaiki neraca pembayaran. (Governmental assistance to economic development-Pasal 18). Jelasnya setiap Negara peserta yang ingin memperbaiki posisi financial eksternal dan neraca pembayarannya boleh membatasi jumlah atau nilai barang yang diizinkan untuk diimpor dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Pasal XI. Misalnya hambatan impor yang dikenakan atau ditingkatkan oleh Negara peserta tidak boleh melebihi apa yang diperlukan untuk mencegah atau menghentikan ancaman penurunan cadangan moneter atau bagi Negara yang memiliki cadangan moneter yang rendah untuk mencapai tingkat pertambahan yang wajar dalam cadangannya.

e.       Perlakuan Khusus Bagi Negara Sedang Berkembang (Special dan Differential Treatment  for developing countries.
Sekitar 2/3 negara – negara anggota GATT/WTO adalah negara – Negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, atau yang masih berada dalam tahap awal pembangunan ekonominya. Untuk membantu pembangunan mereka, pada tahun 1965, suatu bagian baru yaitu Part IV yang memuat 3 pasal (Pasal XXXVI – XXXVIII) tersebut dimaksudkan untuk mendorong negara – Negara industri dalam membantu pertumbuhan ekonomi negara yang sedang berkembang. Pasal-pasal ini mengisyaratkan hal sebagai berikut:
1)      Mengakui kebutuhan negara yang sedang berkembang untuk menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan.
2)      Melarang negara – negara maju untuk membuat rintangan–rintangan baru terhadap ekspor negara – negara berkembang.
3)      Negara – negara industri juga mau menerima bahwa mereka tidak akan meminta balasan dalam perundingan mengenai penurunan atau penghilangan tarif dan rintangan – rintangan lain terhadap perdagangan negara – negara yang sedang berkembang.
Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi Negara-negara berkembang anggota WTO untuk melaksanakan persetujuan WTO.
Tidak hanya prinsip-prinsip utama yang memudahkan keterlibatan setiap anggota WTO dalam menerapkan perjanjian-perjanjian yang ada dalam WTO, tetapi ada prinsip-prinsip lain yang mendukung prinsip-prinsip utama yang disebutkan diatas. Adapun Prinsip-prinsip Lain WTO adalah sebagai berikut:
a.    Prinsip Resiprositas (Pasal II GATT 1947)
Perlakuan sama biasanya tertuang dalam suatu perjanjian, baik bersifat multilateral maupun bilateral.
Prinsip ini mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik di antara sesama negara anggota WTO dalam kebijaksanaan perdagangan internasional. Artinya, apabila suatu negara, dalam kebijaksanaan perdagangan internasionalnya menurunkan tarif masuk atas produk impor dari suatu negara, maka negara pengekspor produk tersebut wajib juga menurunkan tarif masuk untuk produk dari negara yang pertama tadi. Berdasarkan prinsip ini diharapkan setiap negara secara timbal balik saling memberikan kemudahan bagi lalulintas barang dan jasa. Dengan demikian, pada akhirnya diharapkan setiap negara akan saling menikmati hasil perdagangan internasional yang lancar dan bebas.  Prinsip Resiprosias merupakan prinsip fundamental dalam perdagangan internasional, sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan (Preambule) GATT antara lain, bahwa:
”being desirous of contributing to these objectives desirous of contributing to these objectives but entering into reciprocal and mutually advantageous arrangement....”
Prinsip ini diterapkan terutama dalam hal terjadinya pertukaran barang antara dua negara secara timbal balik yang menghendaki adanya kebijaksanaan atau konsesi yang seimbang dan saling menguntungkan antara negara yang satu dengan yang lainnya dalam perdagangan perdagangan internasional.[4]

b.   Larangan Kuota, subsidi, dan dumping
Larangan Dumping (Pasal VI) dan Subsidi (Pasal XVI), dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijaksanaan tertentu, sedangkan di pihak lain, kebijaksanaan tersebut justru menimbulkan kerugian bagi negara lainnya. Dalam perdagangan internasional, prinsip fairness ini diarahkan untuk menghilangkan praktek-praktek ekonomi yang disebut dengan praktek subsidi dan dumping.
Oleh karena subsidi dan dumping dinilai sebagai praktek ekonomi yang tidak adil atau curang, maka WTO mengaturnya dengan menyatakankan bahwa, apabila suatu negara terbukti melakukan praktek tersebut, maka negara pengimpor yang dirugikan oleh praktek itu mempunyai hak untuk menjatuhkan sanksi balasan, Sanksi balasan itu adalah berupa pengenaan bea masuk tambahan yang disebut dengan "bea masuk anti dumping" yang dijatuhkan terhadap produk-produk yang diekspor secara dumping dan countervailing duties atau bea masuk untuk barang-barang yang terbukti telah diekspor dengan fasilitas subsidi.  

c.    Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan kuantitatif)
Yang menjadi ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi kuantitatif yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT. Restriksi kuantitatif terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan pembayaran produk-produk impor atau ekspor), pada umumnya dilarang (Pasal IX). Hal ini disebabkan karena praktek demikian mengganggu praktek perdagangan yang normal. Restriksi kuantitatif dewasa ini tidak begitu meluas di negara maju. Namun demikian, tekstil, logam, dan beberapa produk tertentu, yang kebanyakan berasal dari negara-negara sedang berkembang masih acapkali terkena rintangan ini.
Namun demikian dalam pelaksanaannya, hal tersebut dapat dilakukan dalam hal: pertama, untuk mencegah terkurasnya produk-produk esensial di negara pengekspor; kedua, untuk melindungi pasal dalam negeri khususnya yang menyangkut produk pertanian dan perikanan; ketiga, untuk mengamankan, berdasarkan escape clause (Pasal XIX), meningkatnya impor yang berlebihan (increase of imports) di dalam negeri sebagai upaya untuk melindungi, misalnya, terancamnya produksi dalam negeri. keempat, untuk melindungi neraca pembayaran (luar negerinya) (Pasal XII). Meskipun demikian restriksi tersebut tidak boleh diterapkan di luar yang diperlukan untuk melindungi neraca pembayarannya. Restriksi itu pun secara progesif harus dikurangi bahkan dihilangkan apabila tidak dibutuhkan kembali. Dengan adanya pengakuan sebagaimana diatur dalam Pasal XVII, pengecualian itu telah diperluas pada negara-negara sedang berkembang. Dalam hal ini negara tersebut dapat memberlakukan restriksi kuantitatif untuk mencegah terkurasnya valuta asing (devisa) mereka yang disebabkan oleh adanya permintaan untuk impor yang diperlukan bagi pembayaran atau karena mereka sedang mendirikan atau memperluas produksi dalam negerinya. Bagi kepentingan negara tersebut, GATT menyelenggararakan konsultasi secara reguler yang diadakan dengan negara yang mengajukan restriksi impor untuk melindungi neraca pembayarannya. Menurut Pasal XIII, restriksi kuantitatif ini, meskipun diperbolehkan, tidak boleh diterapkan secara diskriminatif. Ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi keantitatif yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT. Restriksi kuantitatif terhada ekspor atau impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan pembayaran produk – produk impor atau ekspor), pada umumnya dilarang (Pasal IX) hal ini disebabkan karena praktik demikian mengganggu praktik perdagangan yang normal.[5]

IV.  Pengecualian Prinsip-prinsip GATT/WTO
 GATT/WTO mengatur berbagai pengecualian dari prinsip dasar seperti[6] :
 1.   Kerjasama regional, bilateral dan custom union.
Pasal XXIV GATT 1994 memperkenankan anggota WTO untuk membentuk kerjasama perdagangan regional, bilateral dan custom union asalkan komitmen tiap-tiap anggota WTO yang tergabung dalam kerjasama perdagangan tersebut tidak berubah sehingga merugikan negara anggota WTO lain yang tidak termasuk dalam kerjasama perdagangan tersebut.
 2.   Pengecualian umum.
Pasal XX GATT 1994 memperkenankan suatu negara untuk melakukan hambatan perdagangan dengan alasan melindungi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan ;importasi barang yang bertentangan dengan moral;konservasi hutan; mencegah perdagangan barang-barang pusaka atau yang bernilai budaya, perdagangan emas.
 3.  Tindakan anti-dumping dan subsidi.
Pasal VI GATT 1994, Persetujuan Antidumping dan subsidi memperkenankan pengenaan bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan hanya kepada perusahaan-perusahaan yang terbukti bersalah melakukan dumping dan mendapatkan subsidi.
 4.   Tindakan safeguards
Pasal XIX GATT 1994 dan persetujuan Safeguard memperkenankan suatu negara untuk mengenakan kuota atas suatu produk impor yang mengalami lonjakan substansial yang merugikan industri dalam negeri.
 5.  Tindakan safeguard untuk mengamankan balance of payment
 6.  Melarang masuknya suatu produk yang terbukti mengandung penyakit berbahaya atau penyakit menular yang membahayakan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.

       V.    Negara berkembang dapat menggunakan pengecualian prinsip-prinsip GATT/WTO

1.      Committee on Governmental Procurement
Negara berkembang yang berminat masuk dalam perjanjian khusus ini dapat dikecualikan dari ketentuan mengenai national treatmnent melalui negosiasi dengan negara-negara penadatangan lainnya. Pengecuaian tersebut dapat diberikan kepada negara-negara berkembang yang mengalami kesulitan dalam neraca pembayaran ataupun karena situasi tingkat perkembangan, keuangan dan perdagangannya tidak memungkinkan negara yang bersangkutan untuk dapat memenuhi ketentuan mengenai national treatment tersebut. Selain itu bagi negara-negara berkembang yang menjadi anggota suatu regional-global arrangement antara negara-negara berkembang dapat dikecualikan dari ketentuan national treatment tersebut (Pasal III: 4, 5 ,6 dan 7)
Adanya Committee on Government Procurement yang merupakan badan pengawas pelaksanaan Agreement tersebut, dan diikutkannya wakil dari negara berkembang dalam Committee tersebut maka kepentingan negara berkembang dapat diperjuangkan.
Adanya bantuan teknis yang dapat diberikan atas permintaan negara berkembang yang bersangkutan. Bantuan tersebut dimaksudkan untuk membantu negara-negara berkembang untuk memecahkan permasalahan yang mereka hadapi dalam bidang government procurement(Pasal III: 8 dan 9)
Negara-negara maju akan mendirikan information centre untuk menampung dan menjawab pertanyaan yang diajukan negara berkembang sehubungan dengan masalah government procurement (Pasal III:10)
Mengenai special and differential treatment, oleh committee secara berkala akan dilakukan peninjauan kembali apakah pengecualian yang diberikan kepada suatu negara akan diperpanjang waktunya. (Pasal III: 13)

2.      Waiver dan Pembatasan Darurat terhadap Impor
GATT mengijinkan diadakannya perkecualian dalam bentuk waiver dan langkah darurat lainnya. Perkecualian dalam bentuk waiver misalnya suatu negara dalam melaksanakan kebijakan bidang pertaniannya sebenarnya melanggar GATT, tetapi karena telah ditetapkan sebelum adanya GATT, maka kebijakan tersebut memperoleh waiver (pelepasan tuntutan).
Dalam kasus tertentu suatu negara dapat menghadapi suasana darurat yang memerlukan penanganan dengan mengambil langkah proteksi karena industri dalam negerinya menghadapi masalah. Pasal XIX mengizinkan suatu negara untuk mengambil langkag protektif tersebut. Tetapi pasal XIX menyatakan bahwa langkah protektif tersebut adalah langkah darurat yang bersifat sementara. Perkecualian tersebut dikenal sebagai safeguards. Dengan syarat yang ditentukan secara khusus, suatu negara anggota GATT dapat menerapkan suatu restriksi dalam impornya atau mencabut konsesi tariff yang telah diberikan kepada negara lain untuk produk-produk yang telah mengalami peningkatan impor yang sedemikian besar shingga menimbulkan kesulitan yang berat untuk industri dalam negeri negara-negara yang bersangkutan.

3.      Perkecualian untuk Perjanjian Perdagangan Regional
Perjanjian perdagangan regional banyak dimaksudkan bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan hambatan perdagangan dalam bentuk bea masuk (tariff) atau hambatan lainnya (non-tariff). Perjanjian semacam ini sebenarnya bertentangan dengan prinsip most-favored-nation.
Namun demikian, Pasal XXIV GATT telah mengizinkan perjanjian perdagangan regional, tetapi dengan ketentuan bahwa tujuannya untuk meningkatkan perdagangan, tanpa harus meningkatkan bea masuk maupun hambatan non-tariff tambahan terhadap  barang dari negara-negara non-anggota sehingga menimbulkan hambatan pada taraf yang lebih tinggi daripada yang berlaku sebelum adanya perjanjian.


[1] http://www.majalahglobalreview.com/ekonomi/perdagangan/9-perdagangan-/29-wto-kembali-menangkan-kasus-rokok-kretek-indonesia.html
[2] Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, hlm 49
[3] Ibid, hlm 56
[4] Muhammad Sood, Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Internasional., hlm 45
[5]Huala adolf, Hukum Ekonomi Internasional. Hlm. 54
[6] H. S. Kartadjoemena, “GATT dan WTO; Sistem Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan”, hlm 55.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar