HUKUM PIDANA KHUSUS
MAKALAH PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Disusun
oleh :
Nandika
Agung Putra Batara (
125010107111009 )
Nona
Indira Septiani (
125010100111105 )
Annas
Adi Nugroho (
125010107111001 )
Deska
Adiyana Pratama Putra (
125010107111020 )
Mata
Kuliah : Hukum Pidana Khusus
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
MALANG
2014
Kata Pengantar
Pertama penulis mengucapkan puji
syukur atas kehadirat Allah Yang Maha Esa, atas segala kebesaran dan kelimpahan
nikmat yang diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang
“Tindak Pidana Korupsi”. Korupsi sudah menjadi fenomena yang
biasa di dalam masyarakat di Indonesia dapat dikatakan bahwa sepertinya korupsi
sudah menjadi budaya.Korupsi mengakibatkan sebagian besar rakyat Indonesia
menderita dan hidup dalam kemiskinan, penanggulangan korupsi menjadi tanggung jawab
bersama mengingat korupsi berkembang begitu pesat. Untuk itu dalam pembahasan
disini mencoba untuk mengetahui aspek-aspek apa saja yang menyebabkan
terjadinya korupsi. Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari
pengetahuan dan pengalaman penulis masih sangat terbatas. Oleh karena itu,
penulis mohon maaf jika ada kesalahan yang sengaja maupun tidak sengaja. Dan
penulis juga sangat mengharapkan adanya kritik dan saran dari berbagai pihak
agar makalah ini lebih baik dan bermanfaaat. Terima kasih.
Malang, 10 November 2014
Penulis,
Daftar Isi
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Masalah korupsi tengah menjadi perbincangan hangat di masyarakat, terutama
media massa lokal dan nasional. Maraknya korupsi di Indonesia seakan sulit untuk
diberantas dan telah menjadi budaya. Pada dasarnya, korupsi adalah suatu
pelanggaran hukum yang kini telah menjadi suatu kebiasaan. Korupsi merupakan masalah besar yang
di hadapi Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. Korupsi menyebabkan
kemiskinan dan kehancuran moral pada sebagian besar rakyat Indonesia. Hasil
kerja KPK membuktikan bahwa sebagian besar pihak melakukan korupsi, terutama
pelakunya adalah para pejabat Negara , bahkan sampai saat ini mungkin banyak
pihak yang belum terungkap dengan tindakannya sebagai seorang koruptor. Hal ini
menjadi ancaman besar yang nyata dan sedang berlangsung bagi bangsa Indonesia,
bagaimana nasib bangsa Indonesia kedepannya jika para pemimpin bangsa pada
akhirnya bertindak sebagai seorang koruptor yang seharusnya mengabdi pada
bangsa dan pembawa amanah rakyat justru
merampas hak-hak rakyat indonesia. Selain itu, korupsi di Indonesia kini
semakin meresahkan dan telah menjamur di berbagai segi kehidupan masyarakat.
Dari Instansi tingkat desa, kota, maupun swasta hingga pemerintahan, tetapi
mengadakan usaha dan upaya untuk memberantas korupsi memang bukan suatu yang
sia-sia. Penyelesaian korupsi masih tebang pilih dan pelaksanaan hukumnya masih
belum maksimal. Masih banyak koruptor yang berkeliaran di Indonesia, dan para
koruptor tersebut sekarang cukup pandai untuk mengelabuhi para penegak hukum
dengan menyuap agar terhindar dari
tanggungjawab akibat tindakannya. Dalam makalah ini akan di bahas mengenai apa
itu korupsi, siapa saja pihak-pihak yang melakukan korupsi, apa sebab-akibat
terjadinya korupsi yang di lakukan oleh para pejabat Indonesia dan contoh
kasus korupsi, Ini merupakan sedikit gambaran bahwasannya tindak pidana korupsi di
Indonesia telah membudidaya, belum mampu diberantas sampai akar-akarnya dan
hingga menjadikan Indonesia salah satu negara terkorup sampai saat ini.
1.2. Rumusan Masalah
Sehubungan
dengan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang dibahas dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian korupsi ?
2. Apa penyebab timbulnya korupsi ?
3. Siapa badan pemberantasan korupsi ?
4. Bagaimana kinerja KPK
dalam pemberantasan kasus korupsi ?
5. Contoh dan analisis kasus korupsi yaitu Kasus
Korupsi Miranda Goeltom.
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah tersebut,
maka tujuan dalam penulisan makalah ini, antara lain :
1. Untuk mengetahui pengertian korupsi
2. Untuk mengetahui penyebab timbulnya
korupsi
3. Untuk mengetahui badan pemberantasan korupsi
4. Untuk mengetahui kinerja KPK dalam
pemberantasan kasus korupsi
5.
Untuk mengetahui
salah satu
contoh kasus
Korupsi
beserta analisisnya, Yakni Kasus Korupsi Miranda
Goeltom.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari perkataan bahasa
latin “corruptio” yang berarti kerusakan atau kebrobokan. Di samping
itu perkataan korupsi dipakai pula untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang
buruk.Korupsi juga banyak yang disangkutkan pada ketidakjujuran seseorang dalam
bidang keuangan.[1]
Pengertian Korupsi Menurut
Undang-Undang :
Korupsi menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Pasal 3 menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak
pidana korupsi adalah: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”.
Menurut beberapa ahli
diantaranya :
Pengertian
korupsi telah banyak diungkapkan oleh beberapa ahli hukum, antara lain
diuraikan secara cukup lengkap oleh Andi Hamzah (1991) yang menyatakan:
Bahwa korupsi berasal dari bahasa
latin corruption (diambil dari “Rechtsgeleerd Handwoordenboek”, Fockema Andreae,1951) atau corruptus (diambil dari “Webster Student Dictionary”, 1960).
Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu
berasal pula dari kata latin yaitu com
yang berarti bersama-sama dan rumpereyang
berarti pecah dan jebol. Dari bahasa latin inilah turun ke banyak bahasa di
Eropa seperti Inggris :corruption,
corrupt, Perancis : corruption, dan
Belanda corruptie (korruptie) yang
kemudian turun ke bahasa Indonesia : “korupsi”.[2]
Soedjono D mengemukakan bahwa : “Korupsi menyangkut
segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau
aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan-kekuasaan dalam jabatan karena pemberian,
faktor ekonomi dan politik serta penempatan politik, klik golongan ke dalam
kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.[3]
Secara
hukum pengertian "korupsi" adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang tindak pidana korupsi. Jadi dapat disimpulkan bahwa
pengertian "korupsi" lebih ditekankan kepada perbuatan yang
merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau
golongan.
Dari
sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
-
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
-
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
-
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2.2. Penyebab Timbulnya Korupsi
Pada
hakikatnya, awal mula praktik korupsi di Indonesia sudah ada sejak zaman
penjajahan Belanda, sekitar tahun 1800-an yaitu pada masa VOC yang kemudian
terus berlanjut hingga masa setelah Indonesia merdeka. Pada masa Orde Baru,
korupsi semakin merajalela dikalangan penguasa di republik ini. Berbagai kasus korupsi menjerat para
pemegang kekuasaan publik, hal ini jugalah yang turut menjadi penyebab
terjadinya Reformasi 1998. Ini menandakan bahwa korupsi di
Indonesia sudah berlangsung begitu lama dan seolah tidak ada tindakan untuk
memutus mata rantai korupsi.
Berdasarkan
kenyataan tersebut, maka harus diketahui apa saja pokok permasalahan dan
faktor-faktor yang menyebabkan seorang pejabat publik atau aparat pemerintah
melakukan korupsi. Ada berbagai faktor yang menyebabkan seseorang melakukan
korupsi, diantaranya sebagai berikut[4]
:
1.
Rendahnya iman dan moral yang dimiliki seorang pemegang kekuasaan publik
sehingga mudah terpengaruh dan tergoda untuk melakukan praktik korupsi.
2. Kurang tegasnya peraturan
perundang-undangan menekan atau memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme
serta sanksi yang kurang tegas bagi pelaku KKN sehingga tidak menimbulkan efek
jera dan tidak mencegah munculnya koruptor-koruptor baru.
3. Lemahnya pengawasan dan kontrol
terhadap kinerja aparat negara sehingga memberikan peluang korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan.
4. Gaji yang relatif rendah, faktor
inilah yang sering menjadi alasan utama seseorang melakukan korupsi, karena ia
menganggap bahwa gaji yang ia dapat belum cukup untuk mendapatkan kehidupan
yang berkecukupan. Selain itu, tingkat pendapatan juga dianggap tidak sebanding
dengan tingkat kebutuhan hidup yang semakin meningkat dan semakin kompleks.
5. Rendahnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam hal kontrol
kinerja aparat pemerintahan serta kebijakan-kebijakan yang diambil, sehingga
rentan penyelewengan kekuasaan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
6. Budaya korupsi yang sudah
berkembang dimasyarakat, warisan budaya korupsi yang sudah ada sejak zaman
kolonial yang terus berlanjut hingga masa pasca Indonesia merdeka, bahkan
hingga era reformasi menjadikan korupsi semakin sulit untuk diberantas secara
menyeluruh.
7. Tidak adanya rasa nasionalisme
dalam diri pejabat publik, keserakahan para pelaku korupsi dan lain lain.
2.3. Badan Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan
Korupsi[5], atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang
dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat
melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan
berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.
KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas
pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan
undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti
mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh
lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Adapun tugas KPK adalah koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK); supervisi terhadap instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan TPK; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap TPK; melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam pelaksanaannya tugasnya, KPK berpedoman kepada
lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan
umum, dan proposionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan
laporannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR, dan BPK. KPK
dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, seorang ketua
merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Kelima
pimpinan KPK tersebut merupakan pejabat negara, yang berasal dari unsur
pemerintahan dan unsur masyarakat. Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun
dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan
keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial
Pimpinan KPK membawahkan empat bidang, yang terdiri atas
bidang Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal
dan Pengaduan Masyarakat. Masing-masing bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga
dibantu Sekretariat Jenderal yang dipimpin seorang Sekretaris Jenderal
yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia, namun
bertanggung jawab kepada pimpinan KPK. Ketentuan mengenai struktur organisasi KPK diatur
sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat
berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan KPK. Dalam
pelaksanaan operasional, KPK mengangkat pegawai yang direkrut sesuai dengan
kompetensi yang diperlukan.
Fungsi dan Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi[6]
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas :
- Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
- Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
- Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
- Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
- Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
- Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
- Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
- Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
- Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Mengenai tugas,
wewenang, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi selengkapnya, dapat
dilihat pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
2.4. Kinerja KPK dalam Pemberantasan Korupsi[7]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menegaskan sepanjang 2013 telah terjadi peningkatan jumlah perkara korupsi. Dari 49 perkara yang
ditangani pada 2012, tahun 2013 meningkat hampir dua kali lipat menjadi 70
perkara. Keseluruhan
jumlah penanganan perkara tahun 2013 meliputi 76 kegiatan penyelidikan, 102
penyidikan, dan 66 kegiatan penuntutan, baik kasus baru maupun sisa penanganan
pada tahun sebelumnya. Eksekusi yang dilakukan KPK terhadap putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht) berjumlah 40. Dari sejumlah perkara yang
ditangani, KPK berhasil menyelamatkan uang negara sebesar 1,196 triliun rupiah,
dengan perincian 1,178 triliun rupiah dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
perkara dan 18,568 miliar rupiah dari lelang gratifikasi. Di bidang penindakan,
KPK juga melakukan sejumlah terobosan hukum yang bertujuan untuk makin
memberikan efek jera dan terapi kejut. Di antaranya penerapan Undang-Undang
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di hampir semua kasus yang ditangani dan
hukuman tambahan berupa kewajiban mengganti kerugian negara dan pencabutan hak
politik dan sebagainya," kpk juga berhasil menangani kasus-kasus besar,
diantaranya kasus BLBI, Korupsi yang melibatkan sejumlah kader Partai Demokrat,
Korupsi yang melibatkan Miranda Goeltom, Aulia Pohan, Akil mochtar, termasuk
kasus suap pengadaan kuota impor daging sapi dan kasus-kasus korupsi lainnya.
2.5. Contoh dan Analisis Kasus Korupsi Miranda Goeltom
Kasus korupsi Miranda Goeltom merupakan kasus yang menghebohkan Indonesia
karena terdapat cerita unik di dalamnya. Kasus ini
terungkap dan menjadi ramai pada tahun 2008, yakni
pada saat Agus Condro Prayitno mantan anggota DPR RI komisi IX periode
1999-2004 melaporkan adanya uang berupa travel cheque yang diberikan kepada
anggota DPR setelah 56 anggota Komisi IX memilih
Miranda menjadi Deputi Senior Gubernur BI pada Juni 2004. Dengan adanya laporan
dari Agus Condro tersebut, KPK kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan
hingga terdapat 26 tersangka pada kasus suap tersebut termasuk Agus Condro
sendiri.
A. Kronologi Kasus Miranda Goeltom
Lantas
bagaimana bisa Miranda Goeltom bisa
bersalah? Seperti Apa kasusnya ? Berikut adalah kronologis yang bisa
menjelaskan tentang kasus korupsi suap Miranda Goeltom terkait
Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada tahun 2004 yang melibatkan
Nunun Nurbaeti dan sejumlah anggota DPR komisi IX.
Pengungkapan
kasus suap pada pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, lewat fit and
proper test oleh Komisi IX DPR RI, 8 Juni 2004, sejatinya bukan murni prestasi
penyidik KPK. Adanya permainan uang Rp 24 miliar terdiri atas 480 lembar cek
pada pemilihan Miranda Swaray Goeltom itu atas 'keluguan' anggota DPR Agus
Condro Prayitno dari Fraksi PDIP.
Entah karena gugup menghadapi penyidik KPK, dalam dua kali
pemeriksaan, 4 dan 8 Juli 2008 untuk bersaksi atas kasus aliran dana BI Rp 100
miliar ke DPR dengan tersangka Hamka Yandhu, saat itu Agus keceplosan turut
menerima uang Rp 500 juta. Atas keluguannya, Agus Condro sendiri dinyatakan
bersalah dan diganjar penjara 15 bulan.
Ia menuturkan menerima uang setelah 56 anggota Komisi IX memilih
Miranda menjadi Deputi Senior Gubernur BI pada Juni 2004. Miranda menang telak
dengan meraih 41 suara atas dua pesaingnya, yakni Budi Rochadi (12 suara), dan
Hartadi A Sarwono (1 suara). Dua suara lainnya abstain. Kemenangan Miranda
didukung PDIP dan Golkar.
Belakangan hari, uang yang diberikan kepada anggota DPR untuk suap
memilih Miranda diduga berasal dari Nunun Nurbaetie. Berikut kronologis kasus
suap cek perjalanan kepada DPR dalam pemilihan Miranda Goeltom[8] :
7 Juni 2004
Nunun Nurbaetie melakukan pertemuan dengan Hamka Yandhu di kantornya
di Jalan Riau, Menteng, sebelum fit and proper test calon DGS BI.
Dalam pertemuan tersebut, Nunun dan Hamka membicarakan rencana pemberian TC (travel
cheque), sebagai tanda terima kasih.
Nunun Nurbaetie, selaku pemilik perusahaan kemudian menghubungi Arie
Malangjudo dan meminta Direktur di PT Wahana Esa Sembada itu menyiapkan tanda
terima kasih kepada anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004. Hamka Yandhu
kemudian meyakinkan Arie bahwa segalanya sudah diatur. Hamka menjelaskan
pemberian tanda terima kasih itu nanti akan ada kodenya. Masing-masing partai
mendapat bungkusan sesuai warna partainya, yaitu kuning (Golkar), merah (PDIP),
hijau (PPP) dan putih (fraksi TNI/POLRI).
8 Juni 2004
Arie membagikan cek yang telah disiapkan dalam kantong kertas
berwarna merah, kuning, hijau dan putih. Pembagian tersebut dimulai kepada
Fraksi PDI Perjuangan yang diwakili oleh Dudhie Makmun Murod di Restoran Bebek
Bali. Lalu Arie menuju ke Hotel Atlet Century, Senayan, usai menemui Dudhie,
disana ia menyerahkan cek dalam kantong hijau senilai Rp1,25 miliar untuk
Fraksi PPP melalui Endin Soefihara. Setelah itu Arie langsung kembali ke
kantornya di Jalan Riau, Menteng, Jakarta Pusat, untuk meneruskan pembagian cek
pelawat. Selepas maghrib, Hamka datang mengambil bungkusan berwarna kuning
senilai Rp7,8 miliar di kantornya lalu dilanjutkan dengan kedatangan Udju
Djuhaeri bersama 3 orang temannya dari Fraksi TNI/Polri, yaitu
Sulistiyadi, Suyitno dan Darsup Yusuf pada pukul 18.30 WIB. Arie pun
menyerahkan cek senilai Rp2 miliar kepada Fraksi TNI/Polri. Setelah itu, Arie
langsung menelepon terdakwa Nunun untuk melaporkan rampungnya penyaluran cek
tersebut.
Pada saat pembagian cek tersebut, di Gedung DPR sedang berlangsung
fit and proper pemilihan DGS BI. Pada malam harinya akhirnya Komisi XI DPR
memutuskan Miranda terpilih sebagai DGS BI mengalahkan Hartadi A. Sarwono dan
Budi Rochadi. Uji kelayakan dan kepatutan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia
dimenangkan Miranda Swaray Goeltom dengan meraih 41 suara, sedangkan pesaingnya
Budi Rochadi (12 suara), dan Hartadi A Sarwono (1 suara). Dua suara lagi
abstain.
4 dan 8 Juli 2008
Mantan anggota Fraksi PDI Perjuangan Agus Condro Prayitno
mengungkapkan skandal korupsi dalam pemilihan Miranda.
9 September 2008
(PPATK) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan melaporkan
temuan 480 lembar travelers cheque BII (cek pelawat) senilai Rp 24
miliar yang ditujukan kepada 41 anggota DPR. Para anggota DPR mencairkan dana
dengan cara bermacam-macam, antara lain menyuruh sopir atau ajudan.
25 September 2008
KPK pertama kali memanggil Nunun, tapi Nunun mangkir dengan alasan
sakit.
9 Juni 2009
KPK menetapkan Hamka Yandu, Dudhie Makmun Murod, Udju Djuhaeri, dan
Endin AJ Soefihara sebagai tersangka.
24 Maret 2010
KPK meminta Ditjen Imigrasi mencekal Nunun, namun ternyata ia telah
pergi ke Singapura sehari sebelumnya.
1 April 2010
Nunun dikatakan sakit 'pelupa berat' oleh dokter ketika dipanggil
sebagai saksi untuk Dudhie Makmun Murod.
17 Mei 2010
Pengadian Tipikor memvonis mantan anggota DPR dari Partai Golkar
Hamka Yandhu 2 tahun 6 bulan penjara terkait kasus suap pemilihan Deputi Senior
Gubernur BI. Hamka dikenakan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan. Hari yang
sama, Dudhie divonis 2 tahun, Endhin Soefihara (15 bulan), Udju Juhaeri (2
tahun).
8 Desember 2010
Nunun mangkir untuk ketujuh kalinya dari panggilan KPK
4 Februari 2011
KPK menahan 24 tersangka kasus cek pelawat. Sehingga jumlah
tersangka sebanyak 26 orang
7 Februari 2011
Mantan Menteri Perindustrian yang juga politikus Partai Golkar Fahmi
Idris mendatangi KPK. Dia mengabarkan Nunun berada di Bangkok, Thailand.
23 Mei 2011
Ketua KPK Busyro Muqoddas dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi
III DPR menyatakan Nunun sudah ditetapkan sebagai tersangka.
26 Mei 2011
Kementerian Hukum dan HAM mencabut paspor Nunun.
14 Juni 2011
Nunun resmi
jadi buronan interpol dengan nama Nunun Daradjatun.
26 Oktober 2011
Ketua KPK mengungkapkan Nunun dilindungi kekuatan-kekuatan besar.
Belakangan Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan, kekuatan itu berasal dari
pengusaha luar negeri.
23 November 2011
Foto Nunun tengah berbelanja di luar negeri (diduga di Singapura)
beredar di media
7 Desember 2011
Nunun Nurbaetie ditangkap di Bangkok, Thailand.
10 Desember 2011
Nunun Nurbaetie tiba di Jakarta, dan dijebloskan ke Rutan Perempuan
Pondok Bambu Jakarta Timur, Minggu
B. Analisis Kasus berdasarkan Aspek Hukum Tindak Pidana Khusus
Sesuai kronologi,
kasus korupsi diatas adalah tindak pidana suap yang dilakukan kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara, yang mana Miranda Goeltom yang
merupakan calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia melakukan tindak pidana suap
kepada sejumlah anggota dari beberapa fraksi di komisi IX DPR RI periode
1999-2004 berupa pemberian “Travel Cheque BII”. Dimana tujuan Miranda Goeltom
memberikan Travel Cheque tersebut adalah untuk memenangkan
Miranda Goeltom dalam Fit and Proper Test pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank
Indonesia tahun 2004 di Komisi IX DPR RI.
I.
Berdasarkan Undang-undang Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :
·
Berdasarkan tindakan Miranda
Goeltoem tersebut, berarti telah terjadi tindak pidana korupsi suap. Dimana perbuatan
terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam :
1. Pasal
5 ayat (1) huruf b Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :
“Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 ( lima puluh juta rupiah )
dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 ( dua ratus lima puluh juta rupiah )
setiap orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya”.
2. Pasal
13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi :
“Setiap orang
yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan
atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi
hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling
banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)”.
·
Berdasarkan unsur-unsur
:
§ Pasal
5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :
1. Perbuatan
: memberikan sesuatu,
Penjelasan : dalam kasus ini,
Miranda Goeltom terbukti secara sah dan meyakinkan, melakukan perbuatan
memberikan sesuatu kepada sejumlah anggota fraksi di komisi IX DPR RI.
2. Obyeknya
: sesuatu,
Penjelasan : dalam kasus ini,
sesuatu yang diberikan oleh Miranda Goeltom adalah berupa 480 lembar travelers
cheque BII (cek pelawat) senilai Rp 24 miliar.
3. Kepada
penyelenggara negara, dan pegawai negeri
Penjelasan : dalam kasus ini, yang
dimaksud penyelenggara negara adalah sejumlah anggota fraksi PDI-P, GOLKAR dan
PPP komisi IX DPR RI periode 1999-2004 dan fraksi TNI/POLRI selaku pegawai
negeri.
4. Karena
berhubungan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya.
Penjelasan : dalam kasus ini, sejumlah
anggota fraksi PDI-P, GOLKAR dan PPP komisi IX DPR RI periode 1999-2004 dan
TNI/POLRI selaku pegawai negeri menerima suap berupa Travelers Cheque agar
memilih dan memenangkan Miranda
Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, padahal tindakan
tersebut bertentangan dengan kewajibannya sebagai penyelenggara negara dan
pegawai negeri.
§ Pasal
13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi :
1. Perbuatan
: memberi hadiah, memberi janji,
Penjelasan : dalam kasus ini,
Miranda Goeltom terbukti secara sah dan meyakinkan, melakukan perbuatan
memberikan sesuatu kepada sejumlah anggota fraksi TNI/POLRI.
2. Objeknya
: Hadiah atau janji,
Penjelasan : dalam kasus ini,
hadiah yang diberikan oleh Miranda Goeltom adalah amplop putih yang
masing-masing amplop berisi 10 (sepuluh) lembar TC BII dengan nilai
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah) per lembarnya sehingga jumlah
keseluruhannya senilai Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar Rupiah).
3. Kepada
pegawai negeri,
Penjelasan : dalam kasus ini, yang
dimaksud pegawai negeri adalah sejumlah anggota Fraksi TNI/POLRI.
4. Dengan
mengingat kekuasaan/kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap
melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.
Penjelasan : dalam kasus ini,
sejumlah anggota fraksi TNI/POLRI memiliki kedudukan dalam komisi IX DPR RI
dalam melakukan fit and proper test dan memilih Deputi Gubernur Senior Bank
Indonesia.
II. Berdasarkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Jakarta Pusat :
·
Dalam sidang pada Kamis
(27/9/2012), Miranda Swaray Goeltom divonis dengan pidana penjara selama tiga
tahun dan denda Rp 100 juta. Sebab, dinyatakan terbukti bersalah melakukan
tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
·
Ketua Majelis Hakim
membacakan putusan dalam sidang di pengadilan tipikor, Jakarta dengan "Memutuskan,
menyatakan terdakwa Miranda Swaray Gultom bersalah melakukan tindak pidana
korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwan pertama, Pasal 5 ayat 1
huruf b UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP," Dalam pertimbangannya,
Majelis Hakim mengatakan bahwa Miranda terbukti memberikan sesuatu, berupa cek
pelawat. Sehingga, dirinya terpilih sebagai DGS BI periode 2004-2009 dari hasil
pemungutan suara di Komisi IX DPR RI pada tanggal 8 Juni 2004.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Dari kasus Korupsi yang menyangkut Miranda Goeltom dan
beberapa anggota DPR RI tersebut, menunjukkan korupsi dinegeri ini dapat
dilakukan oleh siapa saja dan dengan berbagai cara. Kasus ini menambah daftar
panjang para koruptor dari kalangan pejabat negara. Dimana seharusnya mereka
sebagai pihak yang berperan memajukan bangsa, pembawa aspirasi rakyat, dan
memperjuangkan hak-hak rakyat justru melakukan tindakan korupsi yang merugikan
kepentingan rakyat dan negara Indonesia. Semoga dari kasus ini bisa menjadi
pelajaran bagi seluruh lapisan rakyat Indonesia, dan antisipasi penegak hukum
untuk selalu mewaspadai berbagai cara untuk melancarkan tindak korupsi yang
dapat dilakukan oleh siapa saja.
·
Korupsi adalah musuh nomor satu dan
terbesar yang harus dihadapi bangsa ini, Korupsi memiliki dampak negatif besar
bagi bangsa dan rakyat Indonesia yang mengakibatkan kemiskinan, kesengsaraan
dan kehancuran bangsa apabila tidak dicegah dan diberantas. Penanggulangan
kasus-kasus korupsi baik dengan peraturan perundang-undangan dan peran KPK
tidaklah mudah, untuk itu diperlukan kerjasama dari berbagai pihak seluruh
lapisan masyarakat yang tentunya dilandasi dengan kesadaran hukum setiap warga negara
untuk mencegah dan memberantas korupsi, baik posisinya sebagai warga sipil
maupun pejabat negara, yang tentunya semua itu berpulang pada individu
masing-masing yang berketuhanan Yang Maha Esa. Dengan melibatkan seluruh peran
lapisan masyarakat, maka peluang berkembangnya korupsi dapat dipersempit,
tentunya dengan tindakan penegakan hukum yang efektif untuk memberikan efek
jera bagi pelaku tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
·
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Erlangga,
Jakarta,1980.
·
Hamzah, Andi,Korupsi
Dalam Pengelolaan Proyek, Akademik Pressindo, Jakarta, 1991.
·
Soedjono,Fungsi Perundang-undangan Pidana dalam
Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Sinar baru, Bandung,
1984.
·
Zachrie, Ridwan, dan
Wijayanto, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010.
·
Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum cetakan ke-enam, Bandung, PT
Citra Aditya Bakti, 2006
Undang-Undang :
·
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
·
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Putusan :
·
Kasasi : Nomor 545K/Pid.Sus/2013
·
Banding : Nomor 56/PID/TPK/2012/PT.
DK
·
Pertama : Nomor
39/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST
Internet :
·
www.mahkamahagung.go.id
·
http//www.kpk.go.id
·
http://muvid.wordpress.com/2008/01/21/hdfaskfh/
·
http://www.tribunnews.com/nasional/2011/12/12/bermula-dari-keluguan-agus-tjondro
[1]Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Erlangga,
Jakarta : 1980, hlm. 122.
[2]Andi Hamzah,Korupsi
Dalam Pengelolaan Proyek, Akademik Pressindo, Jakarta : 1991, hlm 15.
[3]Soedjono D,Fungsi Perundang-undangan Pidana dalam
Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Sinar baru, Bandung :
1984, hlm. 17.
[4]Zachrie, Ridwan, dan Wijayanto,
Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat,
dan Prospek Pemberantasan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta : 2010 hlm
35.
[5]http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpk
[6]
http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/fungsi-dan-tugas
[7]http://kpk.go.id/id/berita/berita-sub/1601-jumlah-korupsi-meningkat-dua-kali-lipat-pada-2013.
[8] http://www.tribunnews.com/nasional/2011/12/12/bermula-dari-keluguan-agus-tjondro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar