HUKUM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
MENGKRITISI PASAL 7 UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG JENIS DAN
HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Disusun oleh :
Nama : Nandika Agung
Putra Batara
Mata Kuliah : Hukum
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
Artikel
DPR dan Pemerintah akhir bulan ini telah mengesahkan UU No
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU
tersebut menggantikan undang-undang sebelumnya yaitu UU No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan. Alasan DPR dan Pemerintah
mengganti undang-undang itu bahwa UU No. 10 Tahun 2004 terdapat kekurangan dan
belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Salah
satu kekurangan dalam UU No. 10 Tahun 2004 adalah tidak dimasukannya Ketetapan
MPR (TAP MPR) dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Oleh karena
itu, DPR dan Presiden menyempurnakan nya dengan memasukan TAP MPR.
Pasal
7 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan terdiri atas:
- UUD 1945
- Ketetapan MPR
- UU/Perppu
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan Daerah Propinsi
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Bunyi
Pasal ini berbeda dengan UU No. 10 Tahun 2004, yang dalam pasal yang sama
menyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundan-undangan adalah sebagai
berikut:
- UUD 1945
- UU/Perppu
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan Daerah
Sumber
artikel :
http://hukumdanpolitik.blogspot.com/2011/10/hierarki-peraturan-perundang-undangan.html
I.
Pendahuluan
1).
Landasan Keberlakuan Peraturan Perundang-undangan :
Landasan Filosofis
dasar filosofis peraturan perundang-undangan adalah
berkaitan dengan dasar ideologi negara, dalam hal ini adalah Pancasila. Suatu
rumusan peraturan perundang-undangan harus mendapatkan pembenaran
(rechvaardiging) yang dapat diterima jika dikaji secara filosofis. Pembenaran
tersebut harus sesuai dengan cita-cita kebenaran, cita-cita keadilan dan
cita-cita kesusilaan.
Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis mengandung makna bahwa peraturan
perundang-undangan yang dibuat harus berkaitan dengan kondisi atau kenyataan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Landasan Yuridis Suatu peraturan perundang-undangan harus
mempunyai landasan hukum atau dasar hukum atau legalitas yang terdapat dalam
ketentuan lain yang lebih tinggi.
2) Prinsip-prinsip Peraturan Perundang-undangan
:
Dasar peraturan perundang-undangan
selalu peraturan perundang-undangan (landasan yuridis yang jelas).
Hanya peraturan perundang-undangan
tertentu saja yang dapat dijadikan landasan yuridis Peraturan
perundang-undangan yang masih berlaku hanya dapat dihapus, dicabut, atau diubah
oleh peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi
a. Peraturan perundang-undangan baru
mengesampingkan peraturan perundang-undangan lama (lex posteriore derogat legi
priori)
b. Peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
(lex superior derogate legi inferiori)
c. Peraturan perundang-undangan yang
bersifat khusus mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum
(lex specialis deroget legi generalis)
Setiap jenis peraturan
perundang-undangan materinya berbeda Hirarki Peraturan Perundang-undangan.
Dalam kerangka berfikir mengenai jenis
dan hierarki peraturan perundang-undangan, pasti tidak terlepas mengenai
Stuffen Bau theory karya Hans Kelsen (selanjutnya disebut sebagai ”Teori
Aquo”) seperti yang telah di ajarkan kepada kita pada mata kuliah pengantar
hukum indonesia . Hans Kelsen dalam Teori Aquo mambahas mengenai jenjang norma
hukum, dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan.
Namun sekarang Teori Aquo mulai di
terapkan dalam hukum positif di Indonesia dalam bentuk undang-undang tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan. Undang-undang mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan pertama kali dipositifkan dalam Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(selanjutnya disebut sebagai ”UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
2004”). UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan No. 10 Tahun 2004
setidak-tidaknya mengatur mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan
yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang
mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan.
Namun seiiring perkembangan zaman,
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung
perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik sehingga perlu diganti. Kemudian, pergantian
tersebut ditandai dengan adanya undang-undang terbaru mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya
disebut sebagai ”UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2011”). UU
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 2011 secara umum Secara umum memuat
materi-materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas
pembentukan Peraturan Perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan,
Peraturan Perundang-undangan; perencanaan Peraturan Perundang-undangan;
penyusunan Peraturan Perundang-undangan; teknik penyusunan Peraturan
Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang;
pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan
Peraturan Daerah.
Sebagai penyempurnaan terhadap UU No.
10 Tahun 2004, UU No. 12 Tahun 2011 memuat materi muatan baru yang ditambahkan,
yaitu antara lain:
a. Penambahan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan
Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Perluasan
cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk
Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
c. Pengaturan
mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Pengaturan
Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan
Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota;
e. Pengaturan
mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan, peneliti, dan
tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
f. penambahan
teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang ini.[1]
Sedangkan baik UU No. 10 Tahun 2004,
maupun UU No. 12 Tahun 2011, sama-sama mengatur mengenai Teori Aquo. Sebelumnya,
dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004
mengatur Teori Aquo pada bagian jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
sebagai berikut:
”Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah”
Sedangkan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 mengatur
Teori Aquo pada bagian jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai
berikut :
” Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”
Kemudian terdapat penjelasan mengenai
muatan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan sesuai pasal 7
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 bahwa : Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan meyebutkan :
”Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.”
Definisi ”Undang-Undang” sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan:
”Undang-Undang adalah Peraturan
Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan
bersama Presiden. ”
Definisi ”Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang” diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
”Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
Definisi ”Peraturan Pemerintah” diatur
dalam Pasal 1 angka 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan:
”Peraturan Pemerintah adalah
Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya.”
Definisi ”Peraturan Presiden” diatur
dalam Pasal 1 angka 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan:
”Peraturan Presiden adalah Peraturan
Perundangundangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah
Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan
kekuasaan pemerintahan.”
Definisi ”Peraturan Daerah Provinsi”
diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan:
” Peraturan Daerah Provinsi adalah
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.”
Definisi ”Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota” diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
”Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.”
II.
Rumusan Masalah
Dari
jenis dan hirarkies peraturan perundang-undangan sesuai Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 ini Maka yang dapat kita lihat adalah bahwa terdapat tiga hal yang
berubah apabila kita bandingkan dengan jenis dan hirarki Peraturan-Perundang-undangan
yang terdapat dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yaitu
masuknya kembali Ketetapan MPR , Peraturan Daerah yang memiliki tingkatan
antara Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang pada
undang-undang sebelumnya adalah sejajar , serta yang terakhir dihapuskannya
peraturan desa dari peraturan perundang-undangan di Indonesia yang sebelumnya
peraturan desa tercantum dalam pasal 7 ayat (1) sebagai bagian dari hirarki
peraturan perundang-undangan.
Pertanyaan kemudian kemudian muncul adalah :
1. Implikasi
Yuridis terhadap konsep PERDA pada Undang-undang No. 10 Tahun 2004 terhadap
pembagian PERDA pada Undang-undang No. 12 Tahun 2011 yang memunculkan adanya
hirarkies antara Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/kota
?
III.
Analisa
Undang-Undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut
dengan undang-undang.” Namun, ruang lingkup materi muatan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 diperluas tidak saja Undang-Undang tetapi mencakup
pula Peraturan Perundang-undangan lainnya, selain Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Undang-Undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus
berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum
nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang
saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan
mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan Artikel diatas kita
telah mengetahui DPR dan Presiden telah mengesahkan UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU tersebut
menggantikan undang-undang sebelumnya yaitu UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan perundang-undangan yang masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung
perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 merupakan
penyempurnaan terhadap kelemahan kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004, yaitu antara lain:
-
materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang
menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu
kepastian hukum;
-
teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
-
terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan
perkembangan atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;
Dengan
disahkanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 maka secara implisit memiliki
konsekuensi hukum, yaitu ketentuan pada undang-undang tersebut mengikat semua lembaga yang berwenang dalam membentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia dan tidak berlakunya atau di cabutnya Undang –
Undang Nomor 10 Tahun 2004, sesuai Asas Lex Posteriori derogate Legi Priori
yaitu Peraturan yang baru menggantikan atau peraturan yang lama.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 ini memiliki
beberapa perbedaan dengan Undang-undang sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 10
Tahun 2004, mengenai materi muatan yang terkandung dalam jenis dan hierarkis
dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan, mulai dari dimasukkannya
kembali TAP MPR dan pembagian PERDA , yaitu yang sebelumnya PERDA Provinsi dan
PERDA Kabupaten/kota menjadi satu dan sejajar dalam otonomi daerah di pasal 7
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 , kemudian berubah pada pasal 7 Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 PERDA Provinsi memiliki kedudukan lebih tinggi diatas PERDA
Kabupaten/kota.
Pada
analisa artikel diatas saya mencoba mengkritisi perubahan-perubahan yang ada
pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini terutama saya fokuskan pada
perubahan mengenai pembagian PERDA Provinsi dan PERDA Kab/kota sesuai pasal 7
pada UU tersebut.
a. Peraturan Daerah Provinsi (sebelumnya Peraturan Daerah)
menjadi norma yang mengacu pada Peraturan Presiden, dan sekaligus menjadi acuan
dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi berisi materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (sebelumnya Peraturan
Daerah) menjadi norma yang mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi. Materi muatan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran
lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dari penjelasan diatas, kita dapat
mengetahui dengan adanya hierarkis mengenai PERDA Provinsi dan PERDA
Kabupaten/kota menimbulkan konsekuensi yuridis yaitu :
1. Hilangnya
otonomi daerah, yang seharusnya “tiap pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksankan otonomi dan
tugas pembantuan sesuai pasal 18 ayat 6 UUD NRI 1945 tentang Pemerintahan
Daerah” dan “Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sesuai pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan daerah”.
Dengan
adanya perbedaan pada PERDA Provinsi dan PERDA Kabupaten/kota sesuai Asas Lex
Superiori darogat legi Inferiori maka setiap peraturan daerah yang dibuat harus
sesuai atau berdasarkan peraturan yang lebih tinggi diatasnya, terutama untuk
Perda Kabupaten/kota harus sesuai dengan Perda Provinsi karena Perda provinsi
kedudukannya lebih tinggi. Dengan demikian maka secara eksplisit Otonomi daerah
sesuai yang tertuang pada pasal 18 ayat 6 UUD NRI 1945 dan Pasal 1 ayat 2 UU
No. 32 Tahun 2004 menjadi hilang, karena yang seharusnya tiap pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya menjadi tidak berjalan sebab dalam
menjalankan otonomi tersebut dalam hal ini perda kabupaten harus mengacu dan
tidak bertentangan dengan perda provinsi. Sehingga maksud Otonomi daerah yang
tertuang pada pasal 18 ayat 6 UUD NRI 1945 dan pasal 1 ayat 2 UU No. 32 Tahun
2004 menjadi tidak jelas.
2. Tidak
adanya hubungan yang jelas antara Perda Provinsi dan Perda Kabupaten.
Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda tidak mengatur hubungan antara Perda Provinsi
dan Perda Kabupaten/Kota. Sehingga tidak jelas apakah hubungannya hierarkis
atau setara. Karena jika di tinjau dari pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 kududukan
Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/kota ini memiliki hubungan hierarkis tetapi
pada faktanya banyak Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/kota yang masing-masing
berjalan sendiri-sendiri. Kemudian
Sesuai ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU Nomor 32/2004 yang menegaskan
bahwa peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan
PerUndang-Undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah, tetapi
pada faktanya banyak Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/kota yang
bertentangan dengan kepentingan umum yang belum di batalkan oleh pemerintah.
Contoh : Perda Pemkot Surabaya yang masih melegalkan Ndoly ( tempat prostitusi
di Surabaya). Bahkan tempat prostitusi tersebut merupakan salah satu pemasok
dana pemasukan terbesar APBD Pemkot Surabaya.
3. Banyaknya
Kepala Daerah yang salah menafsirkan Otonomi Daerah.
Banyaknya
kesalahan pemahaman terhadap otonomi daerah itulah yang melahirkan tumpang
tindih perizinan di banyak daerah. yang terkadang masalah perizinan inilah
menimbulkan konflik-konflik antar warga di daerah. contoh : izin mendirikan
bangunan, eksploitasi lahan dan pertambangan dan lain lain.
IV.
Kesimpulan
Dengan
disahkannya Undang-undang No. 12 Tahun 2011 ini banyak membawa perubahan dalam
materi muatan yang terkandung di dalamnya, seperti yang tertuang pada pasal 7
Undang-undang No.12 Tahun 2011 mengenai jenis dan pembentukan peraturan
perundang-undangan dimana salah satu perubahan yang ada adalah mengenai
Pembagian Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/kota seperti yang telah saya bahas
diatas.
Dengan adanya pembagian yang memunculkan
hierarki pada perda tersebut menimbulkan konsekuensi yuridis mengenai
pembuatan, pelaksanaan dan pemberlakuan peraturan daerah di masing-masing
daerah. Karena penerapan mengenai otonomi daerah di Indonesia yang tiap daerah
memiliki banyak perbedaan yang satu dengan yang lain harus didasarkan pada
acuan mengenai pembentukan peraturan daerah harus mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Sehingga para ahli banyak yang berpendapat
dengan di baginya PERDA pada pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 menjadi Perda
provinsi yang lebih tinggi dari Perda Kabupaten menunjukkan tidak adanya
sinkronisasi dengan amanat konstitusi menegenai pemerintahan daerah khususnya
pada pasal 18 ayat 6 UUD NRI 1945 dan pasal 1 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2011.
V.
Daftar Pustaka
-
Sumber artikel : http://hukumdanpolitik.blogspot.com/2011/10/hierarki-peraturan-perundang-undangan.html
-
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945
-
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004
-
Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004
-
Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011
-
http://www.kemendagri.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar