KATA
PENGANTAR
Segala
puji syukur bagi Allah SWT yang senantiasa memberi kami kelancaran dalam
penyusunan makalah ini, sehingga kami dapat menyusun makalah tentang “Posisi
Adat dan hukum Adat dalam Era Globalisasi”. Dengan menyelesaikan makalah ini semoga
dapat berguna bagi para pembaca, serta teman-teman sekalian. Makalah ini dibuat
untuk memenuhi tugas terstruktur 2 mata kuliah Hukum Adat. Disini penyusun akan
menjelaskan dengan lengkap tentang bagaimana dan perkembangan hukum adat dan
adat di era globalisasi. Dengan demikian semoga makalah ini dapat berguna bagi
teman-teman dan semoga masalah ini tidak terjadi lagi dikemudian hari.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................................................... 1
Daftar Isi .......................................................................................... 2
Bab I Pendahuluan
A. Latar
Belakang .................................................................. 3
B. Rumusan
Masalah .................................................................. 3
C. Tujuan .................................................................. 4
Bab II Pembahasan .............................................................................. 5
Bab III Penutup
A. Kesimpulan .................................................................. 17
B. Saran .................................................................. 20
Daftar Pustaka .......................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Sebelum
kita membahas posisi adat dan hukum adat di indonesia pada zaman modern dan era globalisasi, kita akan
mengenalkan terlebih dahulu kiranya perlu dijelaskan arti globalisasi.
Globalisasi berasal dari kata benda “globe”
yaitu bumi kita yang wujudnya bulat ini dan tersusun kata sifat global.
Yang dimaksud dengan kata sifat global adalah suatu sifat yang meliputi
keseluruhan secara pokok.
Istilah
globalisasi kita ambil dalam artinya yaitu sebagai suatu proses yang melanda
seluruh penjuru dunia yang dikerjakan oleh sesuatu kekuatan dahsyat. Kekuatan
yang mengerjakan proses globaliasi tersebut adalah kekuatan memaksa yang
menyeret masyarakat manusia di seuruh penjuru dunia untuk menerima peradaban
baru di dunia yang luar biasa hebatnya dalam bidang kemajuan marteril seperti
teknologi, sosial ekonomi, serta dalam soal kemasyarakatan lain-lainnya yang
telah dicapainya berkat semangat dan filsafat yang melatar belakanginya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana sejarah
kekuatan munculnya globalisasi?
2. Bagaimana posisi adat
dan hukum adat di indonesia pada zaman
modern dan era globalisasi?
3. Bagaimana kedudukan
filsafat adat dan filsafat kekuatan global?
4. Apakah hukum adat masih dibutuhkan dalam
menjawab tuntutan globalisasi?
1.3
Tujuan
1.
Mengetahui posisi adat
dan hukum ada di zaman modern dan era globalisasi.
2.
Mengetahui berlakunya
hukum adat di zaman modern dan era globalisasi.
3.
Mengetahui bagaimana
kedudukan adat dan hukum adat di era globasasi.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada
mulanya sebelum disebut sebagai era globalisasi, mulanya telah ada beberapa
pandangan yang mendahului pandangan yang menggambarkan era globalisasi saat
ini. Pandangan ini pertama muncul di Amerika Serikat yaitu yang dibawa oleh
para petualang Eropa salah satunya Columbus karena memiliki harapan di Benua
Amerika yang pertama ditemuinya ia dapat memperoleh keinginan untuk memperbaiki
nasibnya lebih baik, salah satunya dengan mencari harta. Karena besarnya
kenginan tersebut pendatang dari Eropa Barat ini menganut paham individualisme:
lebih mengedepankan kebutuhan untuk dirinya sendiri dan materialisme: kebutuhan
akan kekayaan untuk diri sendiri, dengan jiwa tersebut filsafat ini kemudian
dikenal sebagai filsafat hedonisme. Filsafat ini memandang tujuan hidup adalah
mencari kenikmatan dan kebahagiaan melalui kekayaan materil yang melimpah.
Aliran inilah yang dominan pada saat itu di Amerika Serikat. Para pendatang ini
sering disebut kaum pionir.
Dalam
perkembangannya filsafat hedonisme ini menjadi menajam kepada filsafat yang
disebut pragramatisme. Filsafat ini mengajarkan dalam hidup bagi seseorang yang
terpenting harus dapat berbuat dengan baik dan tepat guna atau efisien yang
dikenal dengan ajaran can do-isme. Yaitu dalam memenuhi kebutuhan hidup harus
memiliki kemampuan yang lebih hebat, baik, dan cepat (do more, do better, do
faster). Dalam melakukan pemenuhan kebutuhan yang lebih baik dan efisien
kemudian muncul ajaran Enginering. Ajaran enginering tersebut kemudian membawa
kemajuan yang benar-benar pesat dan mengagumkan karena dalam proses dan
pengelolaan pemenuhan kebetuhan (materialisme tersebut) menjadi lebih baik,
lebih sistematis dan lebih efisien.
Kemajuan
teknologi ini kemudian memberi percepatan memenuhi kebutuhan itu lebih bersifat
kompleks yaitu ekonomis, teknik, komunikasi, sosial politik, kesenian dan
sebagainya. Perkembangan ini sering disebut paham hedonisme baru yang dalam
dasarnya menganut tiga ideologi:
1. Ideologi
terus-menerus
2. Ideologi
kemajuan yang berjalan mantap secara linear
3. Ideologi
kemewahan dengan menggunakan peralatan yang hebat untuk kemajuan yang cepat.
Kekuatan
hedonisme baru ini melanda dengan cepat hampir seluruh masyarakat dan memaksa
masyarakat di seluruh muka bumi terbawa arus kekuatan hedonisme baru, terlebih
itu dilakukan dengan teknologi yang canggih terutama dalam bidang komunikasi,
informasi dan industri. Sehingga dampak yang dirasakan adalah kekuatan
hedonisme baru ini mulai menindih pandangan yang telah lama ada. Paham-paham
individualisme, sekularisme, materialisme, hedonisme baru ini yang kita sebut
adalah perbuatan globalisasi.
Posisi Hukum Adat di Indonesia dan dalam perkembangan
era globalisasi.
Dalam
hal ini terlihat bahwa adat dan hukum adat dalam menghadapi kekuatan yang
melanda masyarakat berada sebagai pihak yang bertahan. Hal ini terlihat dalam
menghadapi kemajuan global, adat dapat menerima dan berusaha untuk menngikutinya
dan memberi konsensi kepada prinsip-prinsip dan filsafat hidup kekuatan global
itu.
Dalam
memberi konsensi, masing-masing prinsip adat keadaannya sebagai berikut:
·
Kebersamaan harus memberi
konsensi kepada individualisme
·
Universalisme adat harus memberi
konsensi kepada prinsip sekularisme
·
Idealisme adat harus memberi
konsensi kepada prinsip materialisme
·
Prinsip adat tentang manusia
berbudi luhur, tahu rasa malu dan penuh tenggang rasa harus memberi konsensi
kepada prinsip manusia yang berani berkompetisi mengejar keuntungan dan
kemakmuran materill untuk dirinya sendiri tanpa malu.
·
Dsb
Jadi
segala konsensi yang diberikan oleh adat untuk penerimaan , penggunaan serta
partisipasinya dalam kemajuan yang dibawa oleh kekuatan global akan memberi
konsensi yang mendasar dari adat. Dan masyarakat akan berpegang pada prinsip “ engineering” yaitu akan terus maju dalam
keadaan yang stabil, baik subjek yang maju itu sendiri yaitu masyarakat maupun
kemajuan itu sendiri.
Konsensi
adat terhadap arus kebatinan dari kekuatan global dapat dirasakan pengaruhnya
terhadap nilai-nilai kita seperti nilai persaudaraan yang semakin menjadi
melemah. Sebaliknya semakin kuatnya nilai berpacu untuk kalah-menang di dalam
pacuan, hidup menurut kolektivisme semakin melemah dan dikuasai oleh semangat
individualisme.
Dalam
bidang seni mengatur masyarakat lebih ditekankan kepada mekanisme untuk
keteraturan dan ketertiban. Soal nilai keagamaan apa yang menurut adat
merupakan suatu ritual yang sakral yang gaib, tempat-tempat ibadah yang suci menjadi
berganti pandangan terhadapnya yaitu dilihat sebagai suatu tontonan atau suatu
komoditi yang menarik yang dapat dibanggakan untuk pengembangan tourisme.
Dari
hari ke hari dari waktu ke waktu tuntutan pendalaman konsensi sampai kepada
yang azasi dan adat oleh kekuatan global tersebut tampak semakin jauh. Sebagian
besar masyarakat kita terdiri dari orang-orang yang sejak kecilnya di didik dan
dibesarkan di dalam kungkungan filsafat hidup adat, prinsip-prinsip dan
nilai-nilai kehidupannya masih menghayati dan terikat kepada adat. Penerimaan
dan ke ikut sertaan dalam kemajuan yang dibawa kekuatan global tersebut
dilakukan dengan jalan merekayasa sesuai dengan cita rasa yang bersumber kepada
adat. Itu berarti mengadopsi unsur-unsur kemajuan yang diterima dari luar
tersebut.
Hukum adat menurut Van Vollenhoven
adalah Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai
sanksi (oleh karena itu disebut “hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak
dikodifikasikan (oleh karena itu disebut “adat”) . Hal ini dibuktikan dari
penelitian tersebut Prof. Mr. Cornelis Van Vollen Hoven
membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan
hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan
sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap
lingkungan hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut Kukuban Hukum
(Rechtsgouw). Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat,
Singkel, Semeuleu)
2. Tanah Gayo, Alas dan Batak :
a) Tanah Gayo (Gayo lueus)
b) Tanah Alas
c) Tanah Batak (Tapanuli)
a) Tapanuli Utara; Batak Pakpak
(Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti,
Lumbun Julu)
b) Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano
Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)
c) Nias (Nias Selatan)
3. Tanah Minangkabau (Padang, Agam,
Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)
4. Mentawai (Orang Pagai)
5. Sumatera Selatan
:
a) Bengkulu (Renjang)
b) Lampung (Abung, Paminggir, Pubian,
Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)
c) Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya,
Kubu, Pasemah, Semendo)
d) Jambi (Orang Rimba, Batin, dan
Penghulu)
e) Enggano
6. Tanah Melayu (Lingga-Riau,
Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar)
7. Bangka dan Belitung
8. kalimantan (Dayak Kalimantan Barat,
Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan,
Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan
Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan)
9. Gorontalo (Bolaang Mongondow,
Boalemo)
10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah,
Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori,
To Lainang, Kep. Banggai)
11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone,
Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna)
12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore,
Halmahera, Kao, Tobelo, Kep. Sula)
13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda,
Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)
14. Irian
15. Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor,
Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada,
Roti, Sayu Bima)
16. Bali dan Lombok (Bali
Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok,
Sumbawa)
17. Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura
(Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
18. Daerah Kerajaan (Surakarta,
Yogyakarta)
19. Jawa Barat (Priangan, Sunda,
Jakarta, Banten)[1]
Sedangkan ketentuan hasil seminar
Hukum adat di Yogyakarta Tahun 1975 tentang definisi hukum adat adalah sebagai
berikut: "Hukum adat adalah Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam
perundang-undangan RI dan disana-sini mengandung unsur agama. Kedudukan Hukum
Adat menjadi salah satu sumber penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi
pembangunan hukum nasional yang menuju pada unifikasi hukum (penyamaan hukum)".
Tiap-tiap hukum merupakan sebuah
sistem yaitu “peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan kesatuan alam
pikiran”. Sistem Hukum Adat bersendi atas dasar–dasar alam pikiran bangsa
Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum
barat. Kedudukan hukum adat dalam sistem hukum nasional, adalah sebagai salah
satu bagian dari hukum positif yang secara konstitusional “diakui” oleh Negara.
Istilah diakui (pengakuan) mengandung makna atau pengertian yang berbeda dengan
istilah ditetapkan (penetapan).
Berlakunya hukum adat di Indonesia,
bukanlah karena ditetapkan oleh Negara, sebab penetapan diperlukan apabila
hukum adat merupakan suatu system hukum yang baru yang belum ada sebelumnya.
Tetapi kiranya harus diketahui bahwa keberadaan hukum adat di Nusantara ini
telah ada sebelum Republik ini berdiri. Dalam UUD’45 (Ps. 18 B ayat 2)
dinyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
dalam hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan RI
yang diatur dalam undang – undang”. Ketentuan Ps. 18 B(2) UUD’45 tersebut
diatas, dapat dipahami mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
- Negara mengakui dan menghormati hukum adat, ini artinya Negara bukan hanya sekedar mengakui kebenaran dari hukum adat tersebut, tetapi lebih dari itu harus pula berperan aktif dalam proses pembangunan hukum adat, misalnya pemberdayaan kembali lembaga-lembaga hukum adat yang telah lama memudar sebagai akibat dari dominasi sistem perundang-undangan dan sistem ketatanegaraan kita di masa lalu. Negara mengakui eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, ini berarti Negara berkewajiban untuk mendorong dan jika perlu berperan aktif untuk memberdayakan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat sebagai bagian penting dari komponen bangsa dan menghormati serta memelihara segala ciri has yang ada sebagai bagian dari asset bangsa :
o Pembangunan hukum dan pemberdayaan
lembaga-lembaga adat harus memberikan dampak positip sehingga mampu berpungsi
dan berperan aktip sebagai pilter yang dapat menangkal segala dampak negatip
dari arus globalisasi.
o Kesatuan-kesatuan masyarakat dalam hukum
adat memelihara dan menggunakan hak-hak tradisionalnya dengan tetap menyadari
keberadaannya dalam bingkai Negara Kesatuan RI.
Pengaruh Globalisasi
terhadap Hukum Adat
Secara umum, hukum
adat adalah hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sejak lama yang
berdasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu. Melihat
perkembangan perubahan masyarakat yang hidup pada zaman globalisasi dan
modernitas, bisa disebut juga sebagai konsekwensi logis dari kemajuan
teknologi, informasi dan transportasi, cenderung meninggalkan sesuatu yang
telah menjadi pegangan luhur dalam budayanya. Nilai-nilai yang dibawa melalui
globalisasi dan modernitas diambil dan digunakan begitu saja tanpa adanya
filterisasi, orang akan senang jika menyelesaikan persoalan di depan
pengadilan, walaupun itu mempunyai implikasi pada banyak waktu yang terbuang
dan mahalnya biaya untuk berperkara jika dibandingkan menyelesaikan sengketa
melalui permusyawaratan ninik-mamak, di mana hal ini bisa dilakukan secara kekeluargaan dan dengan biaya yang
murah.
Pergeseran ini
begitu terlihat juga pada sistem kekerabatan yang mulai luntur, kalau dahulu
keluarga merupakan prioritas utama dalam segala hal, kini sudah bergeser pada
semakin mengagungkan materi dan lebih pada beberapa tahun terakhir ini sering
ditemukan keretakan keluarga lebih banyak disebabkan oleh persoalan harta
benda.
Maka dari itu
penguasa negeri ini, khususnya pemerintah daerah, diharapkan untuk dapat
memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat, dalam hal ini
pemerintah desa, untuk melestarikan serta mempertahankan aset budaya dan hukum
adat yang telah diyakini secara turun temurun selama beratus-ratus tahun. Hal
ini diperlukan agar apa yang menjadi ketakutan kita atas arus globalisasi tidak
diterima secara penuh, melainkan juga bisa difilterisasi oleh nilai-nilai adat.
Tentunya duduk berdampingan dengan damai dengan hukum yang berlaku secara
nasional.
Untuk itu Menurut Prof. Satjipto
Rahardjo ada empat syarat eksistensi hukum adat,
Empat syarat itu adalah :
1.
Sepanjang masih
hidup
Hukum adat di beberapa desa di
Kabupaten Merangin masih hidup dan masih berjalan, walaupun sampai saat ini
fungsinya semakin berkurang dan tampak kurang maksimal. Keberadaannya bisa
dibuktikan dengan masih adanya Lembaga Adat Desa dalam struktur Pemerintahan
Desa dan juga masih sering melakukan kaji baco (persidangan) jika ada
sengketa dalam masyarakat.
2.
Sesuai dengan perkembangan masyarakat
Perkembangan masyarakat yang positif
tidak berpengaruh besar pada hukum adat, sebagai contoh jika dalam pemerintahan
ada hierarki pemerintahan maka hukum adat mengatakan bahwa bajenjang naik,
butakak tuhun (sama seperti hierarki). Atau dalam seloko adat Jambi
dikatakan bahwa di mano tamilang dicacak di situ tanaman tumboh, di mano
anteng dipatah di situ aek cucoh. Seloko tersebut menjelaskan bahwa
sellu ada penyesuaian pemberlakuan hukum terhadap keadaan mayarakat yang selalu
berubah.
3.
Sesuai dengan prinsip NKRI
Hukum adat yang berlaku di Jambi,
khususnya di Kabupaten Merangin, telah menganut nilai-nilai yang berlaku di
dalam Pancasila yang merupakan falsafah dasar negara Indonesia. Adat basendi
syarak, syarak basendi Kitabullah merupakan bentuk keagamaan dalam adat
Jambi yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Lantak nan Idak Goyah yang
diikuti dengan behuk di imbo disusukan, anak di pangku diletakkan. nan
benah, benah jugo, jangan tibo di mato dipicengkan, tibo di pehut dikempeskan
merupakan manifesto dari bentuk sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Seloko yang berbunyi kato saiyo dalam Pucuk Undang nan Empat dan diikuti
dengan ungkapan bulat aek dek pembuloh, bulat kato dek mufakat bisa
diartikan bentuk dari sila persatuan dan permusyawaratan dalam adat Jambi.
Selanjutnya sila terakhir dari Pancasila bisa ditemukan ungkapan adat Jambi
yang berbunyi ati tungau samo dikicap, ati gajah samo dicincang.
4.
Diatur dalam Undang-undang.
Semenjak amandemen UUD 1945 dan
mulai berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, celah
untuk memberikan keleluasaan bagi desa untuk menentukan hukumnya sendiri sudah
sangat terbuka, tinggal sekarang ini adalah bagaimana aplikasinya di tingkat
Pemerintahan Daerah itu sendiri, khususnya dalam hal ini Pemerintah Daerah
Kabupaten Merangin.
Perlunya
berpikir ulang bagi penguasa negeri ini, khususnya pemerintah daerah, untuk
memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat, dalam hal ini pemerintah
desa, untuk melestarikan serta mempertahankan aset budaya dan hukum adat yang
telah diyakini secara turun temurun selama beratus-ratus tahun. Hal ini
diperlukan agar apa yang menjadi ketakutan kita atas arus globalisasi tidak
diterima secara penuh, melainkan juga bisa difilterisasi oleh nilai-nilai adat.
Tentunya duduk berdampingan dengan damai dengan hukum yang berlaku secara
nasional.
Desa
dipilih lebih pada pertimbangan sosiologis dan administratif. Pertimbangan
sosiologis adalah lebih diksrenakan desa merupakan bentuk konkret dari
masyarakat yang berinteraksi itu sendiri, di desa juga masih berlakunya suatu
sistem kontrol sosial dan hukum adat lebih efektif dimulai dari desa.
Pertimbangan administratifnya lebih ditekankan karena desa merupakan ujung
tombak pemerintahan dan juga tentunya sekaligus menjadi ujung tombak penetapan
hukum di tingkat lokal dan pelaksanaannya. Desa dipandang sebagai sebagai suatu
wilayah yang mempunyai kesatuan masyarakat hukum sendiri.
Namun
yang paling penting dari semua itu adalah desa, dan semua masyarakat lokal di
Indonesia, mempunyai kearifan lokal secara kuat yang mengandung roh kecukupan,
keseimbangan dan keberlanjutan dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya
manusia. Oleh karena itu, memberikan ruang yang lebih luas kepada institusi dan
masyarakat desa untuk melaksanakan hukum adat dan kebiasaanya merupakan jalan
yang lebih tepat untuk merespons dan memperbaiki kerusakan-kerusakan sosial,
budaya, ekonomi dan politik desa
ADAT
SEBAGAI KEBUDAYAAN KITA
Di
dalam adat, yang di dalamnya ada termasuk hukum adat adalah nama lain bagi KEBUDAYAAN RAKYAT KITA. Pada mulanya di
indonesia berlakunya hukum adat telah dibuktikan jauh sebelum era globalisasi,
tepatnya pada jaman kerajaan majapahit dalam buku negarakertagama karya mpu
Prapanca yaitu filsafat pancasila. Filsaafat budaya adat yang kini dinamakan
filsafat pancasila berisi pandangan hidup beserta prinsip – prinsip yang lain
dari apa yang disebut filsafat hidonisme. Adat kita berpangkal dari prinsip –
prinsip : pertama, Kolektivitas atau kebersamaan dan kedua, tidak menganut
khususnya materialisme tetapi idealisme.
Yang
ingin dicapai filsafat adat adalah tercapainya derajat dan martabat keluhuran
sebagai manusia. Dari itu menurut filsafat hidup adat, seorang manusia dalam
hidupnya harus mengusahakan dirinya menjadi seorang yang berbudi luhur, dengan
tahu malu yang tinggi. Di dalam filsafat hidup yang demikian, masyarakat yang
diidamkan adalah suatu masyarakat yang tidak hanya makmur secara materiil saja,
akan tetapi masyarakat yang penuh rasa kebahagiaan lahir batin bagi segenap
warganya. Masyarakat yang demikian, di dalam adat dirumuskan sebagai masyarakat
yang “tata, tentram, kertaraharja”
Sehubungan
dengan itu di dalam filsafat hidup adat, setipa orang di dalam masyarakat
diajarkan untuk memegang teguh prinsip –prinsip moralistas dan kesusilaan yang
tinggi. Itu berarti seorang warga masyarakat harus memiliki dan menjujung
tinggi budi luhur. Orang yang demikian minimal adalah orang yang tau benar rasa
malu. Seorang yang warga yang ideal adalah orang yang sanggup melaksanakan
prinsip rela berkorban untuk masyarakatnya yang disebut pangabdian. Filsafat
hidup yang dianut adat tersebut menunjukan bahwa kemakmuran materiil memang
salah satu harapanya.
Di
dalam filsafat adat, perjalan hidu bermasyarakat tidak sama berjalanya suatu
mesin. Setiap orang mempunyai perasaan dan kemauannya yang tersendirinya,
seorang individu karenaya memerlukan perlakuan yang lain dari individu lainya.
Kemauan individu serta cita rasanya perlu diperhatikan di dalam menata
kehidupan bermasyarakat. Dari itu dalam pengertian “masyrakat yang tertib” atau “yang
bertata”, itu semua dituntut untuk memperoleh perhatian yag semestinya.
Prinsip menata masyarakat dengan memakai prinsip “ENGINNEERING” tidak sesuai dengan filsafat adat. Mengatur dan
menata hidup bermasyarakat adalah suatu seni yang penuh langgam.
Suatu
catatan terhadap filsafat adat sebagai filsafat rakyat kita ialah bahwa dalam
kenyataannya, selain filsafat tersebut ada filsafat lain yang hidup pula yaitu
filsafat hedonisme. Tetapi bekerjanya filsafat hedonisme dalam kalangan masyarakat
kita berlangsung tidak terbuka. Umumnya
filsafat tersebut dicemoohkan dan dicela bila ada orang yang dengan terang-terangan
menganutnya. Dari itu filsafat hedonisme dalam kehidupan rakyat kita menjadi tertekan.
·
MEMBANDINGKAN
FILSAFAT ADAT DAN FILSAFAT GLOBAL
Dari
filsafat adat dan filsafat kekuatan global ada suatu titik singgungnya bahwa
kedua-duanya berusaha mencapai cita-cita kemakmuran materiil bagi hidup didalam
masyarakatnya. Mencanggihkan peralatan adalah cara yang tetap untuk
menghasilkan kemakmuran materiil itu. Itu berarti membuat canggih peralatan dan
sarana materiil yang meliputi bidang peralatan teknologi adalah sekedar untuk
memperoleh hasil yang jitu agar terpenuhi kebutuhan materiil itu. Dari itu dari
adat maupun kekuatan global kedua-duanya menerima modernisasi, dalam hal
modernisasi ini, dilihat dari segi batinnya antara adat dan kekuatan global
tersebut terdapat perbedaan yang diametral berlawanan. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :
ADAT
1.
Prinsip kolektivisme
2. Universalisme
3. Idealisme
4.
Manusia yang luhur yang
tahu rasa malu dalam mencapai kesejahteraan lahir batin
KEKUATAN GLOBAL
1.
Prinsip individualisme
2. Sekularisme
3. Materialisme
4.
Hedonisme yang
menghendaki individu selalu bersaing satu terhadap yang lainnya untuk
mendapatkan kemakmuran materiilnya agar dapat menjadi kaya, tenar dan kuasa
Dari ringkasan
diatas jelas perbedaan asasi antara keduanya. belum lagi perbedaan
prinsip-prinsip melaksanakannya memang antara keduanya menghendaki suatu
pelaksanaan yang rasional tetapi prinsip rasional tersebut, antara kedua
filsafat itu menunjukkan hal-hal yang berbeda dalam pedoman melaksanakannya
yaitu sebagai berikut :
ADAT
1.
Rasionil-etis
2. Rasionil-berseni
3. Sikap
berbudi
4. Membentuk
pribadi yang tahu tenggang rasa dan mempunyai nilai kemanusiaan bagi
masyarakatnya
5. Sejahtera
lahir batin
6.
Tahumalu,hati-hati dan
waspada
KEKUATAN GLOBAL
1.
Rasionil-ekonomis
(tepat guna)
2. Rasionil-teknis
(engineering)
3. Sikap
sportif
4. Membentuk
pribadi yang berjiwa bersaing untuk berprestasi sehingga menjadi manusia sukses
5. Kaya
, tenar dan berkuasa
6.
Berani dengan
perhitungan yang logis-casual dalam menghadapi persoalan nyata.
·
Penguatan Hukum Adat
o Pentingnya Hukum Adat
Kita semua tahu bahwa hukum yang berlaku
di Indonesia hingga sekarang ini masih banyak hukum warisan Belanda atau masih
dipengaruhi oleh hukum Belanda. Dalam penerapannya oleh para penegak hukum
ternyata tidak sebagaimana di negeri asalnya, yang lebih mengutamakan
penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak individu (ini tidak sama artinya
dengan mementingkan diri sendiri) serta lebih berpikir rasional.
Sebaliknya penerapan hukum di Indonesia,
diterapkan oleh para penegak hukum dengan pola pikir orang Indonesia, dengan
kata lain menggunakan pola pikir adat, demikian pula rakyat Indonesia sebagai
penerima, sebagian besar masih dengan mengutamakan kebersamaan atau bersifat
komunal dan religio-magis.
Kondisi di atas mempunyai kontribusi
terhadap kesemrawutan hukum, diskriminatif, dan tidak adil. Padahal seharusnya
hukum yang baik itu menurut ahli hukum perlu memenuhi tiga syarat yaitu :
filosofis, yuridis dan sosiologis, bahkan mungkin perlu ditambah harus mengakar
dan bersumber pada budaya bangsa sendiri.
Keanekaragaman hukum yang berlaku
di Indonesia merupakan kebutuhan hukum dari suatu masyarakat yang majemuk.
Fakta menunjukkan bahwa cukup banyak peraturan yang dalam pelaksanaannya kurang
atau tidak diterima oleh masyarakat. Jadi hukum nasional yang harus dapat
diterima oleh semua pihak, maka itu perlu dirumuskan dalam rumusan yang
bersifat umum. Hal-hal yang bersifat operasional harus diserahkan pengurusannya
atau penyelesaiannya berdasarkan hukum adat yang berlaku bagi masing-masing
suku yang terdapat di Indonesia. Kepada setiap suku harus diberi kewenangan
untuk menjabarkan lebih lanjut apa yang diatur dalam ketentuan umum yang
bersifat nasional tersebut.
PENUTUP
KESIMPULAN
Hukum adat merupakan hukum yang
hidup, secara kuat dan mengakat ditengah-tengah masyarakat. Eksistensi hukum
adat ini, berupa nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat, sekalipun tidak
tertulis, sehingga walaupun hukum adat tersebut tidak ditetapkan oleh Negara
(positifisasi), tetap berlaku ditengah-tengah masyarakat. Oleh Karena itu,
hukum adat sebagai hukum yang berlaku tidaklah mesti harus dilihat dari adanya
penerapan sanksi, akan tetapi hukum adat telah cukup dinyatakan berlaku apabila
ada pernyataan-pernyataan yang diungkapkan sebagai pernyataan rasa keadilan
dalam perhubungan pamrih, yang dinyatakan berlaku sebagai uger-ugeran, sehingga
hukum adat lebih menjamin rasa keadilan yang dibutuhkan masyarakat. Fakta
menunjukkan bahwa cukup banyak peraturan (hukum positif) yang dalam
pelaksanaannya kurang atau tidak diterima oleh masyarakat.
Dari pemaparan diatas, dapat
disimpulkan bahwa hukum adat masih dibutuhkan dalam menjawab tuntutan
kompleksitas persoalan globalisasi. Sebab hukum adat merupakan nilai-nilai
(kebenaran dan keadilan) yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Dan tuntutan
masyarakat sebenarnya adalah kebenaran dan keadilan, bukan berlakunya hukum
secara prosedural.
Mainstream
utama hukum Indonesia sejak masa kolonial Belanda adalah sistem Hukum Barat
yang Individualistik-sekuler, yang menempatkan negara sebagai
satu-satunya sumber pembuat hukum, sedangkan Hukum Islam dan Hukum Adat hanya
merupakan sub-ordinat dan komplementer.11 Kendala terbesar dalam pelaksanaan hukum
di Indonesia, karena memakai sistem Civil Law yang positivistik, adalah sistem
hukum yang dipakai tidak sesuai dengan sosio-kultural mayarakat Indonesia yang
sosio-komunal, tentu berbeda dengan sosio-kultural masyarakat Eropa yang
individulistik-sekuler.
Melihat
kondisi sebagian besar masyarakat Indonesia yang komunal-sosialis-religi, maka
layak dipertimbangkan kembali mengenai sistem hukum yang digunakan di
Indonesia. Sistem Hukum Adat yang hidup dan berkembang seiring perkembangan
masyarakat nampaknya layak untuk dipertimbangkan sebagai dasar bagi pembangunan
Hukum Nasional Indonesia. Globalisasi yang semakin masuk ke tingkat yang paling
lokal di Indonesia, bahkan sudah dianggap agama universal, sekarang kurang mendapatkan
saringan dan cenderung diterima secara utuh tanpa melihat akar budaya dan asal
usulnya apakah sesuai atau tidak dengan akar budaya Indonesia. Hal yang paling
penting adalah kekuatan kekerabatan, toleransi, kesatuan adat, religiusitas dan
kebersamaan masyarakat Indonesia, khususnya di basisnya di desa, akan mampu
memberikan suatu saringan yang efektiv terhadap arus negatif dari globalisasi
yang membawa budaya barat (Eropa) yang individualis, sekuler, kapitalis,
konsumeris dan sedikit liberalis.
Dari
uraian di atas kita dapat menjawab posisi adat di dalam menghadapi arus dan
gelombang kekuatan globalisasi. Tampak
didalam celah-celah gelombang itu, Adat kita, masih tetap bertahan. Di dalam
bertahan itu akar mendasar memang masih sangat kuat. Tetapi di dalam permukaan
menunjukkan betapa banyak sudah dari Adat kita yang telah tergunduli dan
berganti wajah, ini di karenakan hukum adat di tiap-tiap daerah tergeser oleh
pengaruh globalisasi yang mengikis jati diri tiap adat- adat di daerah, oleh
karena itu kita perlu mengetahui posisi hukum adat pada era globalisasi adalah
harus tetap di pertahankan berlakunya di masa sekarang maupun masa mendatang,
karena hukum adat merupakan :
1.
Keseluruhan
aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena
itu disebut “hukum”) yang berlaku di tiap-tiap daerah di indonesia.
2.
Di
akuinya keberadaan hukum adat Dalam UUD’45 (Ps. 18 B ayat 2) dinyatakan bahwa
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat dalam hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur
dalam undang – undang”. Ketentuan Ps. 18 B(2) UUD’45 tersebut diatas, dapat
dipahami mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
§ Negara mengakui dan menghormati hukum
adat, ini artinya Negara bukan hanya sekedar mengakui kebenaran dari hukum adat
tersebut, tetapi lebih dari itu harus pula berperan aktif dalam proses
pembangunan hukum adat, misalnya pemberdayaan kembali lembaga-lembaga hukum
adat yang telah lama memudar sebagai akibat dari dominasi sistem perundang -
undangan dan sistem ketatanegaraan kita di masa lalu. Negara mengakui
eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya,
ini berarti Negara berkewajiban untuk mendorong dan jika perlu berperan aktif
untuk memberdayakan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat sebagai bagian
penting dari komponen bangsa dan menghormati serta memelihara segala ciri has
yang ada sebagai bagian dari asset bangsa :
ü Pembangunan hukum dan pemberdayaan
lembaga-lembaga adat harus memberikan dampak positip sehingga mampu berpungsi
dan berperan aktip sebagai pilter yang dapat menangkal segala dampak negatip
dari arus globalisasi.
ü
Kesatuan-kesatuan
masyarakat dalam hukum adat memelihara dan menggunakan hak-hak tradisionalnya
dengan tetap menyadari keberadaannya dalam bingkai Negara Kesatuan RI.
Dalam
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan pula
bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah
kesatuan masayarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan
asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konstitusi telah menjamin
untuk sebuah tatanan adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, hal ini
memungkinkannya suatu daerah untuk tetap mempertahankan entitas adatnya.
3.
Hukum
adat merupakan hukum yang hidup, secara kuat dan mengakar ditengah-tengah
masyarakat. berupa nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat, sekalipun tidak
tertulis, sehingga walaupun hukum adat tersebut tidak ditetapkan oleh Negara
(positifisasi), tetap berlaku ditengah-tengah masyarakat.
4.
Hukum
adat lebih menjamin rasa keadilan yang dibutuhkan masyarakat. Fakta menunjukkan
bahwa cukup banyak peraturan (hukum positif) yang dalam pelaksanaannya kurang
atau tidak diterima oleh masyarakat.
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum adat masih dibutuhkan dalam menjawab tuntutan kompleksitas persoalan globalisasi. Sebab hukum adat merupakan nilai-nilai (kebenaran dan keadilan) yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Dan tuntutan masyarakat sebenarnya adalah kebenaran dan keadilan, bukan berlakunya hukum secara prosedural.
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum adat masih dibutuhkan dalam menjawab tuntutan kompleksitas persoalan globalisasi. Sebab hukum adat merupakan nilai-nilai (kebenaran dan keadilan) yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Dan tuntutan masyarakat sebenarnya adalah kebenaran dan keadilan, bukan berlakunya hukum secara prosedural.
5. Hukum
adat merupakan salah satu cara yang paling berpotensi untuk mem-filter segala
pengaruh arus globalisasi yang berasal dari luar, sehingga pengaruh globalisasi
tidak secara utuh di serap oleh masyarakat indonesia tetapi dapat diserap
berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dan di anut oleh masyarakat indonesia.
Dari penyaringan hukum adat ini dampak globalisasi dapat di terima dari
aspek-aspek positifnya saja dalam berbagai aspek dan tentunya kita tetap dapat
mengikuti perkembangan dari arus globalisasi tanpa kehilangan jiwa dan jati
diri dari bangsa indonesia sendiri.
SARAN
Ajaran
Adat tersebut juga bergantung kepada batin kita sebagai orang-orang Adat
sendiri. Artinya keteguhan pendirian dan pengalamannya secara konsekwen dan
konsisten dari kita sebagai pengikut-pengikut dan pendukung Adat adalah
menentukan. Sehubungan dengan itu satu hal yang perlu menjadi perhatian. Yaitu
tentang kwalitas pengikut dan pendudukung Adat itu sendiri. Kalau pendukung, penganut
dan penghayat Adat mengikuti prinsip prinsip itu dengan jiwa munafik, hal itu
akan tidak banyak artinya bagi tegaknya Adat kita sebagai filsafat hidup dan
budaya kita. Dalam hal para pengikut dan pendukung Adat bersifat demikian,
dapatlah dikatakan bahwa Adat atau budaya kita akan mengalami perubahan secara
hakiki. Membanjirnya gelombang kekuatan yang melanda kita itu, ditunjang oleh
filsafat hedonisme yang kini juga telah terang-terangan subur dalam masyarakat
kita, telah mengenai dimensi Adat yang paling mendasar yaitu tujuan Adat.
Bila
itu sampai terjadi, maka Adat berarti mau mengikuti dan tunduk kepada tuntutan
kehidupan masyarakat yang mekanis, mengikuti arus kemajuan yang tidak tentu
arah rimbanya. Dalam hal itu kehidupan kita akan dihimpit dan ditentukan oleh
tonggak bermasyarakat yang dicanangkan filsafat yang melatar-belakangi kekuatan
globalisasi yaitu ”stability and change” tanpa titik tujuan.
Daftar pustaka
[1]
H. Noor Ipansyah Jastan, S.H. dan Indah
Ramadhansyah. Hukum Adat. Hal. 76-78. (disadur dari Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar